REVISI MAKALAH : Tasawuf Irfani (Konsep dan Tokohnya)
TASAWUF IRFANI: KONSEP DAN TOKOHNYA
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak
Tasawuf
Yang diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.H.I
Oleh:
ADI JANDRA WICANARKO
AHMAD HARIYANTO
AKHSAN BARORI
EDY WAHYUDI
A. TRI SUWANDOKO
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PAMEKASAN
2017
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr.Wb
Bismillahhirrahmanirrahim
Puji
syukur kahadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan karunia, taufiq, dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang
berjudul “Tasawuf Irfani: Konsep
Dan Tokohnya” dengan baik.
Shalawat dan salam semoga tetap mengalir deras pada pejuang kita
yang namanya populer dan berkibar diseluruh dunia yakni Nabi besar Muhammad
Saw. Yang mana dengan perjuangan beliau kita dapat berada dalam cahaya islam
dan iman.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangan, sehingga penulisan makalah
ini sangat mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif demi kesempurnaan
dalam penulisan makalah selanjutnya.
Akhirnya penulis berdo’a semoga makalah ini akan membawa manfaat
kepada penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Pamekasan,
18 September 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL .................................................................... 1
KATA PENGANTAR ...................................................................... 2
DAFTAR ISI .................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang ............................................................................... 4
B.
Rumusan
Masalah .......................................................................... 4
C.
Tujuan
............................................................................................ 4
BAB III PEMBAHASAN
A.
Apa pengertian
tasawuf irfani ?....................................................... 5
B.
Siapa
tokoh-tokoh sufi yang termasuk kedalam aliran tasawuf irfani
beserta konsepnya
?........................................................................... 6
BAB IV PENUTUP
A.
Kesimpulan
................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di samping tasawuf
ahlaki yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan, dan
berkata benar, ada juga tasawuf yang mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi yang
disebut dengan tasawuf irfani. Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal
keikhlasan dalam hubungan antar manusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa
yang kita lakukan tidak pernah kita lakukan. Ini tingkatan ikhlas yang paling
tinggi.
Para tokoh yang termasuk
irfani diantaranya Rabi’ah Al-Adawiah yang tercatat dalam perkembangan mistisme
Islam sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Dzu An-Nun
Al-Misri yang terkenal sebagai pelopor paham ma’rifat. Abu Yazid Al-Bustami
yang ajaran tasawuf terpentingnya adalah fana’ dan baqa’. Abu Mansyur Al-Hallaj
yang ajaran tasawufnya yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdad
as-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdad al-wujud yang dikembangkan Ibnu
Arabi
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian tasawuf irfani ?
2.
Siapa tokoh-tokoh sufi yang termasuk kedalam aliran
tasawuf irfani beserta ajarannya ?
C. Tujuan
Adapun tujuan di susunnya makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Akhlak tasawuf dan sebagai pengetahuan bagi para
mahasiswa khususnya kami sendiri sebagai penyusun
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Tasawuf Irfani
Tasawuf irfani adalah tasawuf yang berusaha menyikap
hakikat kebenaran atau makrifat di peroleh dengan tidak melalui logika atau
pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberian Tuhan.[1]
secara
etimologis, kata irfan merupakan kata jadian (masdhar) dari kata ‘arafa’
(mengena/pengenalan). Adapun secara terminologis, ‘irfan didefinisikan dengan
makrifat sufistik. Orang yang ‘irfat/ makrifat kepada Allah adalah yang
benar-benar mengenal Allah melalui dzauq dan kasyf (ketersingkapan). Ahli
‘irfan adalah yang bermakrifat kepada Allah. Terkadang kata itu
diidentifikasikan dengan sifat-sifat inheren tertentu yang tampak pada diri
seorang ‘arif (yang bermakrifat kepada Allah), dan menjadi hal baginya. Dalam
konteks ini, Ibn ‘Arabi berkata, ‘Arif adalah seseorang yang memperoleh
penampakan Tuhan sehingga pada dirinya tampak kondisi-kondisi hati tertentu
(ahwal). ‘Irfan diperoleh seseorang melalui jalan al-idrak al-mubasyir
al-wudjani (penangkapan langsung secara emosional), bukan penangkapan langsung
secara rasional. Pembicaraan tentang ‘irfan atau makrifat dikalangan sufi
dimulai sekitar abad III dan IV H. Tokoh sufi yang sangat menonjol
membicarakannya adalah Dzu An-Nun
Al-Mishri (w. 245 H/859M). Sementara Al-Ghazali diposisikan sebagai tokoh sufi
yang pertama kali mendalaminya secara intens.
Berikut penjelasan masing-masing bagian dari metode
irfani:
1.
Riyadlah
Riyadlah adalah
latihan kejiwaan melalui upaya pembiasaan diri agar tidak melakukan perihal
yang mengotori jiwanya. Suatu pembiasaan biasanya dilakukan terus menerus
secara rutin sehingga seseorang benar-benar terlatih.[2]
2.
Tafakur
Secara harfiyah
Tafakur berarti memikirkan sesuatu secara mendalam, sistematis dan terperinci.[3]
3.
Tazkiyah An-Nafs
Secara harfiyah
Tazkiyah An-Nafs terdiri atas dua bagian yaitu “tazkiyat” dan “an-nafs” kata
takziyat berasal dari bahasa Arab yaitu, yakni isim masdar dari kata zakka yang berarti penyucian. Kata an nafs berarti jiwa dalam arti psikis.
Dengan begitu kita dapat mengetahui Tazkiyah An-Nafs Yang bermakna penyucian
jiwa.[4]
4.
Dzikrullah
Dzikrullah adalah
tuntunan masalah ruhiyah atau yang berhubungan dengan masalah pengalaman
ruhiyah.[5]
B. Tokoh-Tokoh
Tasawuf Irfani Dan Ajarannya
1. Rabi’ah Al-Adawiyah
a.
Biografi
Singkat Rabi’ah Al-Adawiyah
Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyah
Al-Bashriyah Al-Qaisiyah.
Ia diperkirakan lahir tahun 95 H/713 M atau 99 H/717 M di suatu perkampungan
di dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/801 M. Ia
dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Karena ia
putri keempat, orang tua menamakannya Rabi’ah. Kedua orang tuanya meninggal
ketika ia masih kecil. Konon pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia
dilarikan penjahat dan di jual kepada keluarga atik dari suku Qais Banu Adwah. Dari sini, ia di
kenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-Adawiyah. Pada keluarga ini pulalah, ia
bekerja keras, tetapi akhirnya dibebaskan lantaran tuannya melihat cahaya yang
memancar di atas kepala Rabi’ah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat
ia beribadah.
Setelah
dimerdekakan tuannya, Rabi’ah hidup menyendiri menjalani kehidupan sebagai
seorang zahidah dan sufiah. Ia menjalani sisa hidupnya hanya dengan ibadah dalam rangka mendekatan
diri kepada Allah
SWT. sebagai kekasihnya. Ia
memperbanyak taubat dan
menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala
bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Bahkan
dalam do’anya, ia tidak
meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.
Pendapat ini ternyata dipersoalkan oleh Badawi. Rabi’ah
menurutnya, sebelum bertobat pernah menjalani kehidupan duniawi . untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, Rabi’ah tidak mendapatkan jalan lain, kecuali
menjadi penyanyi dan penari sehingga begitu terbenam dalam kehidupan duniawi.
Alasan Badawi untuk menguatkan pendapatnya adalah intensitas tobat Rabi’ah itu
sendiri. Menurut Badawi, tidak mungkin iman dan kecintaan Rabi’ah kepada Allah
SWT. begitu ekstremnya, kecuali jika ia pernah sedemikian jauh dalam menjalani
dan mencintai kehidupan duniawinya.[6]
b.
Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah
Rabi’ah
Al-‘Adawiyah tercatat dalam perkembangan mistisme Islam sebagai peletak dasar
tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah SWT. Sementara generasi sebelumnya merintis aliran asketisme
dalam Islam berdasarkan rasa takut dan penharagaan kepada Allah SWT. Rabi’ah pula
yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang
berdasarkan permintaan ganti dari Allah SWT.
Sikap dan
pandangan Rabi’ah ‘Al-Adawiyyah tentag cinta dipahami dari kata-katanya, baik
yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa
katika bermunajat, Rabi’ah menyatakan doanya, “Tuhanku, akan Kau bakar kalbu
yang mencintai-Mu oleh api neraka?” Tiba-tiba terdengar suara, ”Kami tidak
akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.”
Cinta Rabi’ah kepada Allah SWT. Begitu mendalam dan memenuhi
seluruh relung hatinya sehingga membuatnya hadir bersama Tuhan. Hal ini seperti
terungkap dalam sya’irnya,
“Kujadikan kau teman berbincang dalam kalbu.
Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku.
Dengan temanku tubuhku bercengkerama selalu.
Dalam kalbu terpancang selalu kekasih cintaku.”[7]
Selanjutnya
dalam lirik yang lain :
“Kasihku
hanya engkau yang ku cinta
Pintu hatiku telah tertutup bagi selain-mu
Walau
mata jasadku tidak mampu melihat Engkau
Mata
hatiku memandang-Mu selalu”[8]
Dalam syair lain Rabi’ah mengungkapkan syairnya :
Buah
hatiku, aku tidak memiliki cinta selain-Mu
Beri
ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadrat Mu
Engkaulah
harapanku, kebahagiaanku, dan kesenanganku
Hati
ini telah tertutup untuk mencintai selain-Mu.[9]
2.
Dzu An-Nun Al-Misri
a.
Riwayat Hidup Dzu An-Nun Al-Misri
Dzu An-Nun Al-Mishri adalah nama julukan bagi seorang sufi
yang tinggal di sekitar pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya Abu
Al- Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi
Mesir, pada tahun 180 H/ 796M. dan meninggal pada tahun 246H/856M. Julukan Dzu
An-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatan yang diberi Allah SWT kepadanya. Di antaranya, ia pernah
mengeluarkan seorang anak dari perut buaya dalam keadaan selamat di sungai Nil
atas permintaan ibu dari anak tersebut.
Asal mula
Al-Mishri tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya sebagai seorang sufi banyak
diutarakan. Al-Mishri dalam perjalanan hidupnya berpindah dari satu tempat ke
tempat lain. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait
Al-Maqdis, Baghdad, Mekah, Hijaz, Siria, Pegunungan Libanon, Anthokiah, dan
Lembah kan’an. Hal ini menyebabkan ia memperoleh pengalaman yang banyak dan
mendalam. Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang
ilmu fiqh, ilmu hadis, dan guru sufi, sehingga dapat berhubungan dan mengambil
pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Hanbal. Ia
mengambil riwayat hadis dari Malik, Al-Laits, dan lain-lainnya. Adapun yang
pernah mengambil riwayat darinya, antara lain Al-Hasan bin Mush’ib An-Nakha’iy.
Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syaqran Al-‘Abd atau Israfil Al-Maghribiy.
Ini memungkinkan baginya untuk menjadi seorang yang alim, baik
dalam ilmu syariat maupun tasawuf.
Sebelum
Al-Mishri, sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi, tetapi ia adalah orang
pertama yang memberi tafsiran
terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Ia pun merupakan orang pertama di Mesir yang berbicara tentang Ahwal
dan Maqamat para wali dan orang yang pertama memberi definisi
tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar
dalam pembentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah
penulis menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf.
Pendapat
tersebut cukup beralasan mengingat Al-Mishri hidup pada masa awal
pertumbuhan ilmu tasawuf. Lagi pula, ia seorang sufi pengembara yang memiliki
kemampuan dan keberanian untuk menyatakan pendapatnya. Keberanian itu yang menyebabkannya harus
berhadapan dengan gelombang protes yang disertai dengan tuduhan zindiq.
Akibatnya, ia pernah di panggil menghadap Khalifah Al-Mutawakkil. Namun, ia dibebaskan dan
dipulangkan ke Mesir dengan penuh penghormatan. Kedudukannya sebagai wali
diakui secara umum tatkala ia meninggalkan dunia yang fana’ ini.
b.
Ajaran-ajaran tasawuf Tasawuf Dzu
An-Nun Al-Misri
1)
Pengertian makrifat menurut Dzu
An-Nun Al-Misri
Al-Misri adalah
pelopor paham makrifat. Penilaian ini sangatlah tepat karena berdasarkan
riwayat Al-Qathi dan Al-Mas’udi yang kemudian dianalisis Nicholson dan Abd
Al-Qadir dalam falsafah Ash-Sufyyiah fi Al-Islam, Al-Misri berhasil
memperkenalkan corak baru tentang makrifat dalam bidang sufisme Islam. Pertama,
ia membedakan antara “makrifat sufiyyah” dengan “makrifat aqliyah”. Apabila
yang pertama menggunakan pendapat qalb yang biasa digunakan
para sufi, yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para
teolog. Kedua, menurut Al-Misri, makrifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah
(penyaksian hati), sebab makrifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak
azali. Ketiga, teori-teori makrifat Al-Misri menyerupai gnosisme ala neoplatonik.
Teori-teorinya itu kemudian di anggapa sebagai jembatan menuju teori-teori
wahdat asy-syuhud dan ittihad. Ia
pun dipandang sebagai orang yang pertama kali memuaskan unsure falsafah dalam
tasawuf.
Pandangan
Al-Misri tentang makrifat pada mulanya sulit di
terima kalangan teolog sehingga di anggap sebagai seorang zindiq. Oleh karena
itu, ia di tangkap Khalifah, tetapi akhirnya dibebaskan. Berikut ini beberapa
pandangannya tentang
hakikat makrifat:
a)
Sesungguhnya
makrifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang
dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazar milik para
hakim, mutakalimin dan ahli balaghah, melai makrifat terhadap keesaan Tuhan yang
khusus dimilki para
wali Allah SWT. Sebab, mereka
adalah orang yang menyaksikan Allah SWT. dengan hatinya, sehingga terbukalah
baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamban-Nya yang lain.
b) Makrifat yang sebanarnya adalah bahwa Allah SWT.
menyinari hatimu dengan cahaya makrifat yang murni, seperti matahari tidak
dapat di lihat, kecuali dengan cahayanya. Salah seorang hamba yang senantiasa mendekat kepada Allah SWT. merasa hilang
dirinya, lebur dalam kekuasaan-Nya. Ia merasa sebagai hamba yang berbicara
dengan ilmu yang telah diletakkan Allah SWT. pada lidah mereka, ia melihat demgan
penglihatan Allah
SWT., dan berbuat dengan
perbuatan Allah.
Kedua pandangan Al-Misri di atas menjelaskan bahwa
makrifat kepada Allah
SWT. tidak dapat di tempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian,
tetapi dengan jalan makrifat batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan
menjaganya dari ketercemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak
mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan ini, sifat-sifat rendah manusia
perlahan-lahan terangkat ke atas dan selanjutnya ia menyandang sifat-sifat
luhur, seperti yang dimiliki Tuhan, samapai akhirnya, ia sepenuhnya di
dalam-Nya dan melalui dirinya.
Al-Misri membagi pengetahuan tentang Tuhan (makrifat)
menjadi tiga macam, yaitu:
1. Pengetahuan
untuk seluruh Muslim
2. Pengetahuan
khusus untuk para filsuf dan ulama; dan
3. Pengetahuan
khusus untuk para wali Allah
SWT.
2) Pandangan Dzu An-Nun Al-Misri tentang maqamat
dan ahwal
Pandangan Al-Misri tentang maqamat, adalah pada beberapa
hal saja, yaitu at-taubah, ash-shabr, at-tawakal dan ar-rida. Dalam
Dairat Al-Ma’rifat Al-Islamiyyat terdapat keterangan berasala dari Al-Misri
yang menjelaskan bahwa simbol-simbol zuhud itu adalah sedikit cita-cita,
mencintai kekafiran, dan memiliki rasa cukup yang disertai dengan kesabaran. Kendati
demikian, dapat dikatakan bahwa jumlah maqam yang di sebut Al-Misri lebih
sedikit dibandingkan dengan apa yang dikemukakan sejumlah penulis sesudahnya.
Menurut Al-Misri, ada dua macam tobat, yaitu tobat awam dan tobat khawas.
Orang awam bertobat karena kelalaian (dari mengingat Tuhan). Dalam ungkapan
lain, ia mengungkapkan bahwa sesuatu yang di anggap sebagai kebaikan oleh
al-abrar di anggap sebagai dosa al-muqqarabin. Pandang ini mirip dengan
pernyataan Al-Junaidi yang mengatakan bahwa tobat adalah “engkau melupakan dosamu”.
Pada tahap ini, orang-orang yang mendambakan hakikat tidak lagi mengingat dosa
mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju kepada kebesaran Tuhan
dan dzikir yang berkesinambungan.
Lebih lanjut, Dzun An-Nun Al-Mishri membagi tobat menjadi
tiga tingkatan:[10]
a. Orang yang bertobat dari dosa dan keburukannya
b. Orang yang bertobat dari kelalaian dan kealpaan
menguingat tuhan
c. Orang yang bertobat karna memandang kebaikan dan
ketaatannya
Keterangan Al-Misri tentang maqam ash-shabr dikemukakan
dalam bentuk kepingan dialog dari sebuah riwayat. Suatu ketika ia menjenguk
orang yang sakit. Ketika orang sakit itu merintih, Al-Misri berkata, “Tidak
termasuk cinta yang benar orang yang tidak sabar dalam menghadapi cobaan
Tuhan”. Orang sakit itu kemudian menimpal, “Tidak benar pula cintanya orang
yang merasakan kenikmatan dari suatu cobaan.”
Berikut ini merupakan sebuah contoh ucapan Al-Mishri
selagi kedua tangan dan haknya di belenggu sambil di bawa ke hadapan penguasa
dengan disaksikan oleh orang banyak. Ia berkata , “Ini adalah salah satu
pemberian Tuhan dan karunia-Nya. Semua perbuatan Tuhan merupakan
nikmat dan kebaikan.
Berkenaan dengan maqam at-tawakal, Al-Misri
mendefinisikannya sebagai berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki
daya dan kekuatan. Intinya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. disertai
perasaan tidak memiliki kekuatan. Hilangnya daya dan kekuatan seolah-olah mengandung arti
pasif atau”mati”.
Ketika di tanya tentang ar-ridha, Al-Misri menjawab bahwa ar-ridha
adalah kegembiraan hati menyambut ketentuan Tuhan baginya. Pendapat ini sejalan
dengan pendapat Al-Qannad bahwa ar-ridha
adalah ketenangan hati dengan berlakunya ketentuan Tuhan. Kedua pendapat ini
pada dasarnya menunjukkan makna yang sama. Perbedaanya hanya terletak pada
pemilihan kata Al-Mishri memilih kata surur al-qalb untuk ketenangan hati,
sedangkan Al-Qannad memilih kata sukun al-qalb.
Berkenaan dengan ahwal, Al-Misri menjadikan mahabbah “(cinta kepada
Tuhan) sebagai urutan
pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Sebab, tanda-tanda
orang yang mencintai Allah
SWT. adalah mengikuti kekasih-Nya, yakni Nabi Muhammad SAW, dalam hal
akhlak, perbuatan, segala perintah dan sunnahnya.
3.
Abu Yazid Al-Bustami
a.
Riwayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin
Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 dan wafat tahun
947 M. Nama kecilnya adalah Thaifur. Kakeknya bernama Sursuryan, seorang penganut
agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Keluarga
Abu yazid termasuk orang kaya di daerahnya, tetapi lebih memilih hidup
sederhana. Sejaka dalam kandungan ibunya, Abu Yazid telah mempunyai kelebihan.
Menurut ibunya, bayi yang dalam kandungan akan memberontak sampai sang ibu
muntah jika sang ibu memakan makanan yang diragukan kehalalannya.
Sewaktu
meningkat usia remaja, Abu Yazid juga terkenal sebagai murid yang pandai dan
seorang anak yang patuh mengikuti ajaran agama, serta berbakti kepada
orang tuanya. Suatu hari gurunya menerangkan suatu surat dari Al-Qur’an surat
Al-Luqman, “Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat
ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang
kerumahnya untuk menemui ibunya. Itulah suatu gambaran bagaimana ia memenuhi
setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu
Yazid untuk menjadi seorang sufi memerlukan puluhan tahun. Sebelum membuktikan
dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seoran fakih dari
madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali Al-Sindi. Ia
mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu-ilmu lainnya kepada Abu Yazid.
Hanya saja, ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku.
Dalam menjalani
kehidupan zuhud, selama 13 tahunAbu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di
Syam, dengan sedikit sekali tidur, makan dan minum.
b.
Ajaran Tasawuf Abu Yazid Al-Bustami
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid
adalah fana’ dan baqa. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau
lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral
yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar Al-Kalabadzi (w.378 H/988M) mendfinisikan,
“Hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari
segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat
membedakan segala sesuatu secara sadar, dan ia telah menhilangkan semua
kepentingan ketika berbuat sesuatu.”
Jalan menuju
fana’, manurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia
bertanya,”Bagaimana caranya agar aku sampai kepada-Mu? Tuhan
menjawab,” Tinggalkan diri (nafsu)mu dan kemarilah.” Abu Yazid pernah
melontarkan kata ‘fana’ dan salah satu ucapannya: “Aku tahu kepada Tuhan
melalui diriku hingga aku fana’, kemudian aku tahu kepada-Nya melalui diri-Nya,
maka aku pun hidup.”
Adapun baqa’
berasal dari kata‘baqiya. Dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan
istilah tasawuf,
baqa’ berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah SWT. Faham baqa’
tidak dapat dipisahkan dengan faham fana’. Keduanya merupakan faham yang
berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia
sedang menjalani baqa’.
Ittihad adalah
tahapan selanjutnya dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan baqa’.
Akan tetapi, dalam
literatur klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan. Apakan karena
pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajaran ini sangat sulit dipraktikan dan masih perlu
pembahasan, dan merupakan
pertanyaan yang sangat
baik untuk di analisis lebih lanjut. Menurut Harun Nasution, uraian tentang itthad banyak
terdapat didalam buku
karangan orientalis.
Dalam tahapan
ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai
menyatu, baik subtansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad,”identitas telah
hilang, identitas telah menjadi satu”. Sufi yang bersangkutan karena fana’nya telah tak
mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Denga fana’nya,
Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Ia telah berada
dekat pada Tuhan dapat dilihat dari Syahadat yang diucapkannya. Syahadat adalah
ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu
gerbang ittihad.
Ucapan-ucapan Abu Yazid kalau didengar secara sepintas
memberikan kesan bahwa ia sudah syirik kepada Allah SWT. Oleh karena itu, dalam
sejarah para sufi, ada yang ditangkap dan dipenjarakan disebabkan ucapannya
yang membingungkan golongan awam.
4.
Abu Manshur Al-Hallaj
a.
Riwayat Hidup Al-Hallaj
Nama lengkap
Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi.
Ia lahir di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/255M.
Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Pada usia 16 tahun ia belajar
pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin ‘Abdullah At-Tusturi di
Ahwaz. Dua tahun kemudian ia pergi ke Basrah dan berguru kepada ‘Amr Al-Makki
yang juga seorang sufi, dan pada tahun 878 M, ia masuk ke kota Baghdad dan
belajar kepada Al-Junaid. Setelah itu ia pergi mengembara dari satu negeri
kenegeri lain untuk menambah penegtahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf. Ia
digelari Al-Hallaj karena penghidupannya yang di peroleh dari memintal wol.
b.
Ajaran Tasawuf Al-Hallaj
Di antara ajaran
tasawuf Al-Hallaj yang paling tetkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud
yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibnu ‘Arabi.
Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu denga Tuhan (hulul). Kata al-hulul,
berdasarkan pengertian bahasa, berarti menempati suatu tempat. Adapun menurut
istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan
memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mngambil tempat di dalamnya setelah
sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan..
Menurut
Al-Hallaj, pada hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak
ilahi sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian juga
tindakannya. Namun, di lain waktu, Al-Hallaj mengatakan: “Barang siapa
mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun
kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, kafirlah ia. Sebab, Allah mandiri dalam
dzat maupun sifat-Nya dari dzat dan sifat makhluk. Ia tidak sekali-kali
menyerupai makhluk-Nya dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupai-Nya.”
Dengan
demikian, Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui bahwa dirinya Tuhan dan juga
tidak sama dengan Tuhan. Dapat di tarik kesimpulan bahwa hulul yang terjadi
pada Al-Hallaj tidaklah real karena memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamba
dan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang terjadi hanya kesadaran psikis yang
berlansung pada kondisi fana’, atau menurut ungkapannya, sekadar terlebarnya
nasut dalam lahut, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan,
seperti dalam syairnya, air tidak dapat menjadi anggur meskipun keduanya telah
bercampur.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan
makalah ini dapat di simpulkan bahwa, Di samping tasawuf ahlaki yang membahas
moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan, dan berkata benar, ada
juga tasawuf yang mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi yang disebut dengan
tasawuf irfani. Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam
hubungan antar manusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita
lakukan tidak pernah kita lakukan. Ini tingkatan ikhlas yang paling tinggi.
Para tokoh yang termasuk irfani diantaranya Rabi’ah
Al-Adawiah yang tercatat dalam perkembangan mistisme Islam sebagai peletak
dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Dzu An-Nun Al-Misri yang terkenal
sebagai pelopor paham ma’rifat. Abu Yazid Al-Bustami yang ajaran tasawuf terpentingnya
adalah fana’ dan baqa’. Abu Mansyur Al-Hallaj yang ajaran tasawufnya yang
paling terkenal adalah al-hulul dan wahdad as-syuhud yang kemudian melahirkan
paham wihdad al-wujud yang dikembangkan Ibnu Arabi.
DAFTAR
PUSTAKA
Amin, Samsul Munir. Ilmu Tasawuf.
Jakarta: Amzah, 2015
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2010
Nasution,Ahmad bangun, Haji. Akhlak
Tasawuf Pengenalan Pemahaman Dan
Pengaplikasianya. Jakarta:
Rajawali Pers, 2015
[1] H.Ahmad
Bangun Nasution,Akhlak Tasawuf Pengenalan Pemahaman Dan Pengaplikasiannya
(Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm, 27
[2] H.Ahmad
Bangun Nasution,Akhlak Tasawuf Pengenalan Pemahaman Dan Pengaplikasiannya
(Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm,28
[3] Ibid, hlm,28
[4] H.Ahmad
Bangun Nasution,Akhlak Tasawuf Pengenalan Pemahaman Dan Pengaplikasiannya
(Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm,29
[5] H.Ahmad
Bangun Nasution,Akhlak Tasawuf Pengenalan Pemahaman Dan Pengaplikasiannya
(Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm,29
[6] Dr,Rosihon
Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung, Pustaka Setia,2010), Hlm,253
8Samsul Munir Amin,Ilmu Tasawuf(Jakarta: Amza, 2015)
[9] Samsul
Munir Amin,Ilmu Tasawuf(Jakarta: Amza, 2015)
[10] Samsul
Munir Amin,Ilmu Tasawuf(Jakarta: Amza, 2015)