REVISI MAKALAH : Sejarah Muncul dan Berkembangnya Tasawuf


SEJARAH MUNCUL DAN BERKEMBANGNYA TASAWUF
  
MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlaq Tasawuf Yang Dibina
Oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.H.I.

Oleh:
Kelompok 3
Zahrotul Jamilah
Syahdila Elsa Nursyafitri
Indah Sri Lestari
Ferly Sulistian
Yulia Ariska

 

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017



KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah, puja puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Karena berkat rahmat dan rahim-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang sederhana ini. Shalawat dan salam semoga tetap atas Nabi Muhammad  saw.  yang kehadirannya memberi nuansa baru yang mencerahkan, sehingga kita menjadi umat yang di pilih dengan predikat “khairah ummah”.
Selanjutnya kami haturkan banyak terima kasih kepada Moch. Cholid Wardi, M.H.I. selaku dosen mata kuliah Akhlaq Tasawwuf yang senantiasa memberikan bimbingan dan motivasi dalam proses penyelesaian makalah ini. Kami haturkan pula banyak terima kasih kepada teman-teman kami yang selalu setia membantu dalam hal mengumpulkan data-data dalam pembuatan makalah ini.
 Tentu saja makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, harapan kami kepada semua pihak untuk memberikan saran, masukan serta kritik yang konstuktif demi terwujudnya perkembangan penulisan makalah ini dan keilmuan kami dimasa yang akan datang.
Akhirnya kepada Allah kami berharap mudah-mudahan makalah ini dapat mendatangkan manfaat bagi kita semua di dunia juga di akhirat nanti Amin.

Pamekasan,  26 November  2017


Penyusun




DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL........................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................. ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A.    Latar Belakang................................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................... 1
C.     Tujuan Masalah............................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................... .. 3
A.    Sejarah Munculnya Tasawuf............................................................ 3
B.     Sejarah Berkembangnya Tasawuf................................................... 5
C.     Sejarah Perkembangan Tasawuf pada Masa Sahabat....................   7
D.    Sejarah Perkembangan Tasawuf pada Masa Tabiin....................... 10
BAB III PENUTUP................................................................................................ 12
A.    Kesimpulan.................................................................................... 12
B.     Saran.............................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 13







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tasawuf dapat diungkapkan sebagai kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung antara muslim dengan Tuhan. Tasawuf merupakan suatu sistem latihan dengan penuh kesungguhan (riyadhah-mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi dan memperdalam nilai-nilai kerohanian dalam rangka mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan cara itu, segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya. Oleh karena itu maka al-Suhrawardi mengatakan bahwa semua tindakan (al-Ahwal) yang mulia adalah tasawuf (al-Suhrawardi, 1538).
Dengan pengertian semacam ini, maka dapat dikatakan tasawuf adalah bagian dari ajaran islam, karena ia membina akhlaq manusia (sebagaimana islam diturunkan untuk membina akhlaq manusia) diatas bumi ini, agar tercapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat. Oleh karena itu, siapapun boleh menyandang predikat mutashawwif sepanjang berbudi pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, dll yang pada intinya menyandang sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat tercela.
Para sarjana, baik dari kalangan orientalis maupun dari kalangan islam sendiri saling berbeda pendapat tentang faktor yang mempengaruhi munculnya tasawuf dalam islam. Abdul A’la ‘Afifi dalam Kata Pengantar Edisi Arab, Fit Tashawwuf al-Islami Wa Tarikhihi, mengklasifikasikan pendapat para sarjana tentang faktor tasawuf ini menjadi empat aliran. Pertama, dikatakan bahwa tasawuf berasal dari india. Kedua, berasal dari asketisme Nasrani. Ketiga, dari agama Islam sendiri. Keempat, berasal dari sumber yang berbeda-beda kemudian menjelma menjadi satu konsep. 
B.     Rumusan Masalah
      1.      Bagaimana sejarah munculnya tasawuf?
      2.      Bagaimana sejarah berkembangnya tasawuf?
      3.      Bagaimana sejarah perkembangan tasawuf pada masa sahabat?
      4.      Bagaimana sejarah perkembangan tasawuf pada masa tabiin? 
C.    Tujuan Masalah
      1.      Untuk mengetahui bagaimana sejarah munculnya tasawuf
      2.      Untuk mengetahui bagaimana sejarah berkembangnya tasawuf
      3.      Untuk mengetahui bagaimana sejarah perkembangan tasawuf pada masa sahabat
      4.      Untuk mengetahui bagaimana sejarah perkembangan tasawuf pada masa tabiin




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Munculnya Tasawuf
Sudah menjadi suatu kenyataan bahwa periode Nabi Muhammad Saw. adalah periode pra-excellence, periode dimana Nabi telah mengalami keberhasilan luar biasa dalam mengemban amanah Allah Swt. untuk menyampaikan misi kenabian (nubuwwah)-Nya kepada umat manusia di dunia, khususnya di wilayah Arabia dan sekitarnya.
Keberhasilan Nabi Saw. tidak sampai di situ karena para khalifah yang terkenal dengan al-Khulafa’ ar-Rasyidin setelahnya, telah melanjutkan misi Nabi tersebut. Di bawah kepemimpinan para khalifah inilah daerah kekuasaan politik islam dengan amat cepat meluas sehingga meliputi hampir seluruh bagian dunia yang saat itu merupakan pusat peradaban manusia, khususnya kawasan inti yang terbentang dari Sungai Nil di barat sampai Sungai Amudarya (Oxus) di timur.[1]
Kesuksesan luar biasa yang dilakukan para khalifah tersebut, baik di bidang militer maupun politik itu membawa berbagai akibat yang sangat luas. Terutama kepada adanya perhatian dari para penguasa terhadap kaum Muslimin, yaitu yang menyangkut masalah pengaturan masyarakat, dan secara integral ini sangat membutuhkan aturan-aturan yang mengatur tata cara hidup mereka menurut ajaran Islam. Maka hal pertama yang mendapat perhatian adalah yang terkait dengan hukum. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, dalam kenyataannya perhatian terhadap hukum agama menjadi sangat dominan. Sebagai akibatnya, pemahaman hukum agama menjadi identik dengan pemahaman keseluruhan agama itu sendiri, yang biasa disebut dengan fikih.
Semua proses pengaturan hidup selalu didasarkan pada aturan hukum agama (fikih). Kesalehan manusia, baik-buruk, benar-salahnya dapat diukur dari penampakan lahir seseorang, dan ini selalu saja dikaitkan dengan hukum agama yang kaku dan sangat mengikat itu. Konsekuensinya adalah agama Islam  seakan-akan dipahami secara sepihak, sepotong-potong, bukan secara totalitas, yang di dalamnya juga ada aspek-aspek spiritualitas. Dengan kata lain, garapan fikih adalah aspek eksoterisisme (aspek luar/dzahir), dan mungkin mengabaikan aspek esoterisisme (dalam/bathin). Padahal dalam praksisnya, keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Oleh karena itu, adanya anggapan, bahwa tasawuf muncul dan berkembang disebabkan adanya beberapa alasan adalah hal yang tidak dapat diingkari. Dalam perspektif sejarah, tasawuf muncul dan berkembang sebagai akibat dari kondisi sosio kultur dan politik pada masa rezim pemerintahan kaum ‘Umawi di Damaskus. Secara umum mereka dianggap kurang religius dalam praktik kehidupannya. Dalam kondisi seperti ini, kemudian tasawuf muncul sebagaimana dikatakan Nurcholis Madjid sebagai gerakan oposisi politik untuk merespons perilaku kaum ‘Umawi pada saat itu. Tokoh oposan yang paling berpengaruh saat itu adalah Hasan dari Basrah, yang didukung para ulama sunni. Dan orang-orang muslim dengan kecenderungan hidup zuhud (asketik). Dalam perkembangan selanjutnya, tasawuf bukan lagi sebagai gerakan oposisi politik tetapi merupakan gerakan personal yang timbul dari kesadaran hati itu sendiri yang sangat alamiah, dan inilah yang sebenarnya merupakan intisari dari ajaran sufisme.[2]
Dalam realitas historis menunjukkan, kelahiran tasawuf dalam islam itu bermula dari gerakan hidup zuhud atau dengan kata lain, cikal bakal aliran tasawuf islam adalah gerakan hidup zuhud, jadi sebelum orang-orang sufi itu lahir dan berkiprah dalam pentas sejarah, telah ditemukan orang-orang zahid yang secara tekun mengamalkan dan mengaktualisasikan ajaran-ajaran esotoris islam, yang kemudian dalam perkembangannya dikenal dengan ajaran tasawuf islam.[3] 
B.     Sejarah Berkembangnya Tasawuf
       Menurut Ibnu Al-Jauzi dan Ibnu Khaldun, secara garis besar kehidupan kerohanian dalam islam terbagi menjadi dua yaitu, zuhud dan tasawuf. Diakui bahwa keduanya merupakan istilah baru yang belum ada pada masa Nabi dan tidak terdapat dalam Alquran, kecuali zuhud yang disebut sekali dalam surah Yusuf (12) ayat 20.
       Istilah yang populer pada masa Nabi adalah sahabat sebagai panggilan kehormatan bagi pengikutnya. Mereka adalah orang-orang yang terhindar dari sikap syirik dan pola kehidupan jahiliah, serta selalu mendengar dan meresapi Alquran. Ketika Nabi bersama sahabatnya hijrah ke Madinah, ada istilah yang muncul, yaitu muhajir dan anshar. Muhajir berarti orang yang berpindah dari Mekah ke Madinah, sedangkan anshar berarti orang Madinah yang memberi pertolongan kepada orang muhajir.
Ketika islam berkembang dan banyak orang yang memeluk islam, terjadilah perkembangan strata sosial sehingga muncul istilah baru di kalangan sahabat, yaitu qurra’ (ahli membaca Alquran), Ahl As-Shuffah, serta fuqara’. Pada masa Khulafa Rasyidin ketiga, istilah qurra’ digunakan sebagai panggilan bagi pengkaji Alquran. Kemudian masa khalifah keempat, muncul istilah Mu’tazilah sebagai pertanda bagi orang yang menghindarkan diri dari pertikaian Ali dan lawannya. Mereka berada di rumahnya masing-masing untuk konsentrasi menjalankan ibadah dan di antara mereka ada yang mengasingkan diri ke gua-gua. Ketika itu muncul istilah ‘ubbad (ahli ibadah) dan bersama dengan itu muncul istilah khawarij bagi orang yang keluar dari barisan Ali. Mereka itu semua kelompok zuhud yang umumnya disebut qurra’.
Setelah kematian Ali dan Husain, muncul orang-orang yang merasa dirinya banyak dosa sehingga selalu bertaubat kepada Allah. Mereka itu disebut tawwabin. Ada pula kelompok yang selalu meratapi kesusahan dan kepedihannya. Mereka itu disebut qashshash (pendongeng), nussak (ahli ibadah), dan rabbaniyah (ahli ketuhanan).
Sejarah islam mencatat peristiwa stragis saat pembunuhan khalifah ketiga, Utsman bin Affan. Dari peristiwa itu terjadi kekacauan dan kerusakan akhlak. Hal ini menyebabkan sahabat-sahabat yang masih ada dan pemuka-pemuka Islam yang mau berpikir, berikhtiar membangkitkan kembali ajaran Islam, kembali ke masjid (i’tikaf), kembali mendengarkan kisah-kisah mengenai targhib dan tarhib, serta mengenal keindahan hidup zuhud. Inilah asal muasal tasawuf.[4]
C.    Sejarah perkembangan Tasawuf pada Masa Sahabat
Para sahabat juga mencontohi kehidupan Rasulullah yang serba sederhana, di mana hidupnya hanya semata-mata diabdikan kepada Tuhannya.[5]
Sahabat-sahabat yang dimaksudkannya, antara lain:
1.    Abu Bakar Ash-Shiddiq (w. 13 H)
Abu Bakar pada mulanya adalah seorang saudagar Quraisy yang kaya. Setelah masuk islam, ia menjadi seorang yang sangat sederhana. Ketika menghadapi Perang Tabuk, Rasulullah SAW. bertanya kepada para sahabat, “Siapakah yang bersedia memberikan harta bendanya di jalan Allah SWT.?” Abu Bakar adalah orang pertama menjawab, “Saya, ya Rasulallah.” Akhirnya, Abu Bakar memberikan seluruh harta kekayaannya untuk jalan Allah SWT. Melihat hal tersebut, Nabi Muhammad SAW. Bertanya kepada Abu Bakar, “Apalagi yang tinggal untukmu, wahai Abu Bakar?” Ia menjawab, “Cukuplah bagiku, Allah dan Rasul-Nya.” Diriwayatkan bahwa selama enam hari dalam seminggu, Abu bakar selalu dalam kondisi lapar. Pada suatu hari, Rasulullah SAW. pergi ke masjid. Di sana, beliau bertemu dengan Abu Bakar dan Umar bin Khaththab, kemudian bertanya, “Mengapa Anda berdua sudah ada di masjid?” Kedua sahabat itu menjawab, “Karena menghibur lapar.”[6]
2.    Umar bin Khaththab (w. 23 H)
Umar bin Khaththab merupakan sahabat Nabi Muhammad SAW. Terdekat dan khalifah kedua Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin. Ia termasuk orang yang tinggi kasih sayangnya terhadap sesama manusia. Ketika menjadi khalifah, ia selalu mengadakan pengamatan langsung terhadap keaadaan rakyatnya. Diceritakan bahwa setiap malam, ia pergi berkeliling mengamati keadaan rakyatnya. Ia khawatir apabila ada diantara mereka yang mengalami kesulitan, seperti sakit atau kelaparan.[7]
3.    Utsman bin Affan (w. 35 H)
Meskipun ia di berikan kelapangan rizki, oleh Allah, namun ia selalu ingin hidup yang sederhana. Sedangkan harta kekayaannya yang berlimpah ruah, selalu dijadikan sarana untuk menolong orang-orang miskin, hal ini bergambar pada dirinya bahwa ia termasuk Sufi karena beliau tidak tertarik kepada kekayaan atau kesenangan duniawi.[8]
4.    Ali bin Abi Thalib (w. 40 H)
Beliau juga termasuk orang yang senang hidup sederhana, sehingga diriwayatkan bahwa ketika sahabat lain berkata kepadanya: mengapa Khalifah senang memakai baju itu, padahal sudah robek-robek? Ali menjawab, aku senang memakainya agar menjadi teladan kepada orang banyak, sehingga mereka mengerti bahwa hidup sederhana merupakan sikap yang mulia. Maka sikap dan pernyataan inilah yang menandakan diri beliau sebagai seorang Sufi.[9]
5.    Salman Al-Farisi (w. 32 H)
Menurut satu riwayat, Salman Al-Farisi berasal dari Dihqan, sebuah desa di Persia (Iran) di wilayah Jaiy (Jaiyan), dekat Isfahan. Sumber lain menyebutkan bahwa ia berasal dari sekitar Ramhurmuz. Nama aslinya adalah Mahbeh (Mayeh).
Di kalangan ahli tasawuf, Salman Al-Farisi dikenal sebagai seorang sahabat yang suka hidup keras (menderita) dan zuhud, bahkan dikatakan termasuk ahl as-suffah (penganut tasawuf) dan pendiri tasawuf yang dikaruniai ilmu laduni (ilmu yang dianugerahkan Allah SWT. kepada orang-orang tertentu secara langsung, tanpa melalui proses belajar mengajar). Dikatakan juga bahwa ia adalah orang pertama yang melontarkan ide tentang khilafah (wakil guru sufi) dan nur muhammad. Ia melontarkan pemikiran itu kepada Sa’sa’ah bin Suhan, yang kemudian menegaskan bahwa khilafah manusia pertama adalah Muhammad SAW. lalu Ali.[10]
6.    Abu Dzar Al-Ghifary (w. 22 H)
Ia adalah seorang sufi yang selalu mengamalkan ajaran zuhud yang telah dirintis oleh Abu Bakar dan Umar. Ia lebih senang memilih cara hidup miskin dan tidak pernah merasa menderita apabila ditimpa cobaan. Bahkan, ia sangat senang menerima berbagai macam cobaan dari Allah SWT. karena menganggap bahwa cobaan itu merupakan perhatian Tuhan terhadapnya. Oleh karena itu, setiap kali merasa dicoba oleh Allah SWT., ia mengucapkan kalimat syukur dan tahmid.[11]
7.    Ammar bin Yasir (w. 37 H)
Ia adalah seorang sufi yang sangat setia kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, sehingga terlihat ajaran tasawufnya sama dengan ajaran tasawuf yang telah diamalkan oleh Ali sebelumnya. Ia pun termasuk salah seorang dari Ahlus Suffah yang pernah menyatakan bahwa apabila amalan zuhud merupakan kebanggaan bagi pemuka-pemuka masyarakat Mekah yang telah diberantas oleh agama Islam. Menurutnya, seorang hamba yang menginginkan kemuliaan dari Allah SWT., harus menghiasi dirinya dengan amalan zuhud, dan menjauhkan dirinya dari kemewahan harta benda. Ini berarti tidak mengulangi sikap dan perilaku orang-orang Mekah yang telah diberantas oleh ajaran Islam.[12]
8.    Hudzaifah bin Al-Yaman (w. 36 H)
Ia juga seorang salah Sufi yang setia kepada Ali bin Abi Thalib, sebagaimana halnya Ammar bin Yasir. Ia tergolong pula sebagai alim yang bijaksana, sehingga banyak orang yang datang belajar Tasawuf kepadanya.
Dalam mengajarkan Tasawuf, ia selalu mendapatkan bimbingan dari Ali, terutama acara mengajarkan ilmu itu kepada murid-muridnya.
Ali sering memerintahkan, agar tidak sembarang orang yang dapat diterima sebagai muridnya dalam pengajaran Tasawuf, sebab hal itu bisa berbahaya terhadap murid-murid yang tidak mampu menerimanya. Menurut Ali, Ilmu Tasawuf merupakan ilmu yang sangat tinggi. Maka orang yang akan diajarkan ilmu tersebut, harus disesuaikan dengan kemampuan akal dan perasaannya.[13]
D.    Sejarah Perkembangan Tasawuf pada Masa Tabiin
Ulama-ulama sufi dari kalangan Tabiin, adalah murid dari ulama-ulama sufi dari kalangan sahabat.[14]
Tokoh-tokoh Ulama Sufi Tabiin; antara lain:
1.    Al-Hasan Al-Bashry (22 H – 110 H)
Ia mendapatkan ajaran tasawuf dari Huzaifah bin Al-Yaman, sehingga ajaran itu memengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari sehingga ia dikenal sebagai ulama sufi yang sangat dalam ilmunya tentang rahasia-rahasia yang terkandung dalam ajaran islam dan sangat menguasai ilmu batin.[15] Dasar pendirian Al-Basri adalah zuhd terhadap dunia, menolak segala kemegahannya, hanya menuju kepada Allah SWT., tawakal, khauf, dan raja’.[16]
2.    Rabi’ah Al-Adawiyah (96 H – 185 H)
Ia terkenal sebagai Ulama Sufi wanita yang mempunyai banyak murid dari kalangan wanita pula. Kalau Al-Hasan menganut ajaran zuhud dengan menonjolkan falsafah tawakal, khauf, dan raja’, maka Rabiah menganut ajaran zuhud dengan menonjolkan falsafah hubb (cinta) dan syauq (rindu) kepada Allah.[17]
3.    Sufyan bin Said Ats-Tsaury (97 H – 161 H)
Ia dilahirkan di Kufah, kemudian meninggal di Bashrah. Dan beliau termasuk salah seorang Ulama Sufi yang dikagumi, karena kezuhudan serta kealimannya. Masa hidupnya diisinya dengan pengabdian secara Tasawuf, dan aktif mengajarkan ilmu yang ada padanya. Ia pun selalu menyerukan kepada sesama ulama, agar menjauhkan dirinya dari godaan dunia yang sering membawa manusia lupa mengabdikan dirinya kepada Tuhan.[18]
4.    Daud Ath-Thaiy (w. 165 H)
Semula ia belajar Fiqh pada Imam Abu Hanifah, kemudian tertarik mempelajari Ilmu Tasawuf, sampai dikenal sebagai Ulama Sufi yang senang uzlah (menyepi) di tempat yang sunyi. Ia semasa dengan Ulama Sufi yang terkenal lainnya; antara lain Al-Fadhil bin’ Iyadh dan Ibrahim bin Ad-ham. Ia melakukan zuhud dengan cara mengurangi makannya, serta menjauhkan dirinya dari pakaian yang bagus.[19]
5.    Syaqieq Al-Balkhiy (w. 194 H)
Ia adalah murid dari Ibrahim bin Ad-ham, kemudian menjadi gurunya Hatim Al-Ashmi. Ia mulai memasuki kehidupan Sufi, dengan cara mengurangi makannya setiap saat, dan selalu berzikir dan bertawakal kepada Allah. Iapun senang bertemu dengan Ulama-ulama Sufi lainnya untuk berdiskusi, sehingga tidak kurang 300 Ulama yang pernah dikunjunginya dan menjadi sahabatnya yang akrab, baik Ulama yang bermukim di Khurasan (negerinya sendiri) maupun diluarnya, termasuk Al-Laits bin Sa’ad dan Al-Hasan bin Khalil yang pernah ditemuinya.
Dalam kehidupannya sebagai seorang Sufi, ia sangat menghargai waktu untuk diisinya dengan ibadah kepada Allah.[20]



BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Telah kita ketahui bahwa tasawuf sudah ada pada zaman dahulu pada saat zaman Rasulullah SAW, sebab misi kerasulannya meliputi ajaran- ajaran yang berkaitan dengan keyakinan/keimanan (aqidah), Ibadah dan Akhlak. Sedangkan akhlak sendiri merupakan bagian dari ajaran dari Rasulullah SAW yang di tanamkan kepada seluruh sahabat beliau dengan melalui pengajaran dan pembinaan yang disertai contoh dari beliau. Ajaran-ajaran akhlak inilah yang nantinya menjadi ajaran-ajaran tasawuf yang diamalkan oleh kaum Muslim khususnya kaum sufi.
Sedangkan perkembangan tasawuf pada masa Rasulullah ajarannya meliputi kasih sayang, saling menghargai dan menghormat, saling membantu dan menolong, menghormati tetangga, berbuat baik kepada orang tua, solidaritas antar kawan dan lain sehingga tercipta persaudaraan sesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah).Setelah itu tasawuf mulai berkembang juga pada masa tabi’in, yaitu ketika umat islam berada dalam kekhalifahan Bani Umayah.

B.  Saran
     Untuk para pembaca yang membaca karya tulis ini, dimohon mengajukan kritik dan saran kepada penulis demi peningkatan karya tulis yang penulis buat kedepannya, semoga karya tulis ini bermanfaat.



DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir. 2015. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah.
Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Mustofa, A. 2014. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Ni’am, Syamsun. 2014. Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.  


[1] Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hal 113.
[2] Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hal 114
[3] Ibid, hal 115.
[4] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf (Jakarta: Amzah, 2015), hal 128.
[5] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hal 209.
[6] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal 166.
[7] Ibid,
[8] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hal 210.
[9] Ibid, hal 210
[10] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal 168.
[11] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal 169
[12] Ibid,
[13] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hal 212.
[14] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hal 214
[15] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal 171.
[16] Ibid, hal 172.
[17] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hal 216.
[18] Ibid,
[19] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hal 217
[20] Ibid, hal 218.

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH : Tasawuf Falsafi (Revisi)

REVISI MAKALAH : Tasawuf Irfani (Konsep dan Tokohnya)

REVISI MAKALAH : Tasawuf di Indonesia dan Tokohnya