REVISI MAKALAH : Tasawuf Akhlaki (Konsep dan Tokohnya)
TASAWWUF AKHLAKI
MAKALAH
Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah akhlak tasawuf yang di ampu oleh:
Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah akhlak tasawuf yang di ampu oleh:
bapak
MOCH. CHOLID WARDI, M. H.I.
Oleh Kelompok 5 :
Halimatus Sholifah
Imas Fitria D
Uslifatul Jannah
Sri Wulandari
Yulia Agustin
PROGRAM STUDI PERBANKAN
SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN
BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrohim
Alhamdulilah, segala bentuk puji
syukur semoga tetap tertuju kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segenap
nikmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah “akhlak tasawwuf”
Sholawat dan salam semoga tetap mengalir kepada sang revolusioer dunia,
insan paling sempurna dan paripurna, Muhammad bin Abdillah. Atas berkat kerja
keras beliau kita mampu mengalami perpindahan zaman dari zaman jahiliyah menuju
zaman yang penuh dengan cahaya iman, islam dan ihsan.
Selanjutnya, ucapan terima kasih kepada bapak, MOCH. CHOLID WARDI M.H.I .,
yang telah membimbing dan memotivasi dalam penulisan makalah ini, dan tak lupa
kepada seluruh pihak yang membantu baik pikiran maupun finansial dalam
penyelesaian makalah ini.
Akhirnya, kami mohon maaf atas segala kekurangan atau bahkan kesalahan dari
makalah ini karena keterbatasan referensi dan wawasan kami. Oleh karena itu,
kami mengharap kepada semua pembaca segala kritik dan saran yang konstruktif
agar bisa dijadikan bahan acuan dalam penulisan selanjutnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Pamekasan, 14 november 2017
penulis
penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG...................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH...............................................................1
C. TUJUAN PENULISAN................................................................ 1
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN TASAWWUF AKHLAKI......................................2
B. KONSEP-KONSEP TASAWWUF
AKHLAKI............................. 3
C. TOKOH-TOKOH TASAWWUF AKHLAKI................................ 7
BAB III PENUTUP
A.
KESIMPULAN .......................................................................................11
B.
SARAN....................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA…………..…………………………………………...12
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Pada
hakikatnya manusia memiliki potensi yang ada dalam jiwanya. potensi tersebut
ada dua yaitu fitrah dan nafsu, dimana fitrah lebih kepada pada kebaikan yang
dilakukan manusia sedangkan nafsu cenderung kepada keburukan. Namun, manusia
terkadang dapat dikendalikan oleh nafsunya. Sehingga sikap yang tercela seperti
sombong, membanggakan dirinya, dan sikap tercela lainnya dapat hinngap dalam
dirinya. Dengan tasawuf akhlaki yang mengupayakan sikap tercela tersebut dapat
terhindar dari diri kita, agar lebh dekat kepada Allah.
Tasawuf adalah suatu ilmu dengan
diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari
tercela dan mengisinya dengan sifat – sifat yang terpuji cara melakukan suluk,
dan perjalanan menuju (keridhaan) Allah dan meninggalkan (larangan –
larangan-Nya) menuju kepada (perintah-nya).
Tasawuf
adalah nama lain dari “Mistisisme dalam Islam”. Di kalangan orientalis Barat
dikenal dengan sebutan “Sufisme”, tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan
khusus langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh
kesadaran, bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan.
- Rumusan Masalah
Dari
latar belakang tersebut, maka rumusan masalah pada makalah ini:
1. Apakah yang dimaksud dengan tasawuf
akhlaki?
2. Bagaimanakah konsep dari tasawuf
akhlaki?
3. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf akhlaki?
- Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui yang dimaksud tasawuf
akhlaki.
2. Untuk mengetahui konsep dari tasawuf
akhlaki.
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh tasawuf
akhlaki.
BAB
II
PEMBAHASAN
- Pengertian Tasawuf Akhlaki
Secara
etimologis, tasawuf akhlaki bermakna membersihkan tingkah laku dari sifat-sifat
yang buruk atau yang di sebut degan sifat tercela . Tasawuf akhlaki ini bisa di
pandang sebagai tatanan dasar untuk menjaga akhlak manusia, atau dalam bahasa
sosialnya moralitas masyarakat.oleh karena itu, tasawuf akhlaki merupakan ilmu
yang sangat membutuhkan praktek untuk menguasainya. Tidak hanya mengetahuinya
saja, tetapi harus di amalkan dalam
kehidupan sehari-hari, baik itu melalui
perkataan, perbuatan, tingkah laku yang baik terhadap sesama manusia, tidak
harus memandang yang lebih kecil atau yang lebih tua. Demikian juga, akhlak
tasawuf akhlaki adalah ajaran yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian
jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah
laku secara ketat, guna mencapai kebahagiaan yang optimal. Manusia harus
mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui
penyucian jiwa dan raga. Sebebelumnya, dilakukan terlebih dahulu pembentukan
pribadi yang berakhlak mulia. Tahapan-tahapan itu dalam ilmu tasawuf dikenal
dengan takhalli (pengosongan diri dari sifat-sifat tercela), tahalli (menghiasi
diri dengan sifat-sifat terpuji), dan tajalli (terungkapnya nur ghaib
bagi hati yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan.[1]
Sejalan
dengan tujuan hidup tasawuf, para sufi-para sufi berkeyakinan bahwa kebahagiaan
yang paripurna dan langgeng bersifat spiritual. Metode yang dilakukan para sufi
adalah menanamkan rasa benci kepada kehidupan kepada kehidupan duniawi. Ini
berarti melepaskan kesenangan duniawi untuk mencitai tuhan. Esensi mencintai
tuhan adalah melawan hawa nafsu. Bagi sufi keunggulan seseorang bukanlah dari
tumpukan harta, pangkat, otoritas, dan bentuk tubuh melainkan dari akhlak
pribadi yang di terapkannya.[2]
- Konsep-Konsep tasawuf akhlaki
Dalam
tasawuf akhlaki, sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut
1. Takhalli
Takhalli berarti
membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat
batin. Takhalli juga berarti mengosongkan diri dari akhlak tercela.
Salah satu ahklak tercela yang paling banyak menyebabkan timbulnya akhlak
tercela lainnya adalah ketergantungan pada kenikmatan duniawi. Hal ini dapat di
capai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuk dan
berusaha melawan hawa nafsu dan melenyapkan dorongan hawa nafsu.
Menurut
kaum sufi, kemaksiatan pada dasarnya dapat di bagi menjadi dua yaitu maksiat
lahir dan maksiat batin. Maksiat lahir
adalah segala sifat tercela yang dikerjakan oleh anggota lahir, seperti tangan,
mulut, dan mata. Maksiat batin adalah segala sifat tercela yang diperbuat oleh
anggota batin, yaitu hati.
Dalam
hal ini menanamkan rasa benci terhadap kehidupan duniawi serta mematikan hawa
nafsu, para sufi berbeda pendapat. Sekelompok sufi yang modern berpendapat
bahwa kebencian terhadap kehidupan duniawi, yaitu sekadar tidak melupakan
tujuan hidupnya, namun tidak meninggalkan duniawi sama sekali. Demikian pula
denga pematian hawa nafsu itu, cukup sekadar”dikuasai”melalui pengaturan
disiplin kehidupan. Aliran ini tidak meminta agar manusia secara total
melarikan diri dari problem dunia dan tidak pula memerintahkan untuk
menghilangkan hawa nafsu. Golongan ini tetap memanfaatkan dunia sekedar
kebutuhannya dengan mengontrol dorongan nafsu yang dapat mengganggu stabilitas
akal dan perasaan.[3]
2. Tahalli Tahalli
iyalah upaya menghiasi diri dengan akhlak terpuji.Tahapan tahalli dilakukan
kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Tahalli juga
berarti menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan perbuatan baik.
Berusaha agar disetiap gerak-gerik tingkah laku, selalu tetap dalam ketentuan agama, baik
kewajiban yang bersifat “luar” maupun yang bersifat”dalam”. Kewajiban yang
bersifat”luar”adalah kewajiban bersifat formal, seperti shalat, puasa, dan
haji.Adapun kewajiban yang bersifat”dalam”, contohnya yaitu iman, ketaatan, dan
kecintaan kepada tuhan.
Menurut
Al-Ghazali, jiwa manusia dapat di ubah, dilatih,dikuasai, dan dibentuk sesuai
dengan kehendak manusia itu sendiri.Perbuatan baik yang sangat penting di
isikan kedalam jiwa manusia dan di biasakan dalam perbuatan agar menjadi
manusia paripurna (insan kamil). Perbuatan baik itu antara lain sebgai berikut
:
a. Taubat
pada tingkat menengah, taubat menyangkut
pangkal dosa-dosa, seperti dengki, sombong, dan riya’. Pada tingkat yang lebih
tinggi, taubat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa
akan rasa bersalah. Pda tingkat terakhir, taubat berarti penyesalan atas
kelengahan pikiran dalam mengingat allah. Taubat pada tingkat ini adalah
penulakan terhadap segala sesuatu yang dapat memalingkan dari jalan allah.
Menurut
dzu An-Nun Al-Mishri, taubat ada 3 tingkatan, yaitu sebagai berikut:
1. Orang yang bertaubat dari dosa dan
keburukannya.
2. Orang yang bertaubat dari kelalaian dan
ke alpaan mengingat allah.
3. Orang yang bertaubat karena memandang
kebaikan dan ketaannya.[4]
Al-Ghazali
mengklasifikasikan taubat menjadi 3 tingkatan, yaitu sebagai berikut:
1. Meninggalkan kejahatan dalam segala
bentuknya dan beralih pada kebaikan karena takut pada siksaan allah.
2. Beralih dari satu situasi yang sudah
baik menuju kesituasi yang lebih baik lagi.
3. Rasa penyesalan yang di lakukan semata-mata
karena ketaan dan kecintaan kepada allah.
b. Khauf dan raja’
Bagi
kalangan sufi, khauf dan raja’ berjalan seimbang dan saling memengaruhi. Khauf
adalah rasa cemas atau takut. Adapun raja’ dapat berarti berharap atau
optimistis. Khauf adalah perasaan takut seorang hamba semata-mata kepada allah,
sedangkan raja’ atau optimistis adalah perasaan hati yang senang karena menaati
sesuatu yang di inginkan dan di senangi.
c. Zuhud
Zuhud
umumnya di pahami sebagai ketidak tertarikan pada dunia atau harta benda. Di
lihat dai maksudnya, zuhud terbagi menjadi 3 tingkatan.
1. Zuhud yang terendah adala menjauhkan
diri dari dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat.
2. Menjauhi dunia dengan menimbang imbalan
akhirat.
3. Yang sekaligus merupakan maqam tertinggi
adalah mengucilkan dunia bukan karena takut atau karena berharap, tetapi karena
cinta kepada allah.
Orang
yang berada di tingkat tertinggi ini akan memandang segala sesuatu, kecuali
allah, tidak mempunyai arti apa-apa.
d. Fakir
Fakir
berarti kekurangan harta yang di perlukan seseorang dalam menjalani kehidupan
di dunia. Sikap fakir menjadi penting di miliki orang yang sedang berjalan
menuju allah. Hal ini karena terlalu banyak harta memungkinkan manusia dekat
pada kejahatan atau minimal membuat jiwa tertambat pada selain allah.
e. Sabar
Sabar
adalah kemampuan sesorang dalam mengendalikan dirinya terhadap sesuatu yang
terjadi, baik yang di senangi maupun yang di benci. Dengan sikap sabar,
seseorang tdak akan tergoyahkan; tidak berubah bagaimanapu beratnya tantangan
yang di hadapi; dan tidak mengenal menyerah. Sikap sabar di landasi oleh
anggapan bahwa segala sesuatu merupakan kehendak sang khalik.
f. Ridha
Ridha
berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang di anugrahkan allah swt.
Orang yang ridha mampu melihat hikmah dan kebaikan di balik cobaan yang di
berikan oleh allah dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-NYA. Terlebih
lagi ia mempu melihat keagungan, kebesaran, dan kemahasempurnaan Dzat yang
memberikan cobaan sehingga ia tidak mengeluh.[5]
g. Muraqabah
Muraqabah
adalah mawas diri, muraqabah memiliki arti yang sangat mirip dengan intropeksi.
Dengan kata lain, muraqabah adalah siap dan siaga setiap saat untuk meneliti
keadaan sendiri. seorang calon sufi sejak awal sudah di ajarkan bahwa dirinya
tidak akan lepas dari pengawasan allah. Seluruh aktifitas hidupnya di tunjukan
untuk berada di dekat allah. Ia sadar bahwa allah juga memandangnya setiap
saat. Kesadaran ini membuatnya selalu mawas diri di manapun ia berada.
3. Tajalli
Tajalli
adalah hilangnya hijab dari sifat-sifat ke-basyariyyah-an (kemanusiaan) jelasnya
nur yang sebelumnya ghaib dan fana. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib agar hasil
yang telah di peroleh jiwa ketika melakukan tkhalli dan tahalli tidak berkurang,
maka rasa ketuhanan perlu di hayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan
dengan kesadaran dan rasa cinta akan menumbuhkan rasa cinta dan rindu kepadan-Nya.
[6]
- Tokoh-tokoh akhlak tasawuf akhlaki
Tokoh-tokoh
tasawuf akhlaki, antara lain Hasan Al-Bashri, Al-Muhasibi, Al-Qusyairi, dan Al-Ghazali.
1.
Hasan Al-Bashri a.
Biografi Singkat Hasan Al-Bashri Nama
lengkapnya adalah Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar. Ia adalah seorang zahid yang
sangat mashyur di kalangan tabi’in. Al-bashri lahir di madinah pada tahun 21 H
(623M) dan wafat pada hari kamis, 10 Rajab 110 H (728 H). b. Ajaran-Ajaran Tasawufnya
Dasar
pendiriannya yang paling utama adlah menolak segala kenikmatan duniawi. Hasan
Al-bashri mengumpamakan dunia ini seperti ular, terasa mulus kalau disentuh,
tetapi racunnya mematikan. Oleh sebab itu, dunia ini harus dijauhi. Begitu juga
dengan kemegahannya, harus di tolak.[7]
HAMKA
mengemukakan sebagian ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut:
a. Perasaan takut yang menyebabkan hatimu
tentram lebih baik dari pada tentram yang menimbulkan perasaan takut
b. Dunia adalah negeri tempat beramal.
c. Tafakkur membawa kita kepada kebaikan
yang selalu berusaha untuk mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat
menyebabkan kita bermaksud tidak mengulanginnya.
d. Dunia ini adalah ibarat seorang janda
tua yang telah bungkuk dan beberapa kali di tinggalkan mati suaminya.
e. Orang yang beriman akan senantiasa
berduka cita karna takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan
ajal yang masih mengancan.
f. Hendaklah setiap orang sadar akan
kematian yang senantiasa mengancamnya dan takut akan kiamat yang hendak menagih
janjinya.
2. Al-Muhasibi
a. Biografi singkat Al-Muhasibi
Nama
lengkapnya adalah Abu Abdullah Al-Harits bin As’ad Al-Bashri
Al-Muhasibi. Beliau terkenal dengan sebutan Al-Muhasibi, karena ia termasuk orang yang
sangat menyukai perhitungan atas dirinya agar tidak terjatuh kepada
perbuatan-perbuatan yang merugikan. beliau
lahir di Bashrah, Irak, pada tahun 165 H (781 M) dan beliau meninggal pada
tahun 243 H ( 857 M) di Baghdad Irak. Beliau adalah seorang sufi dan ulama
besar yang dikenal dan menguasai beberapa bidang ilmu seperti: Hadits. dan
Fiqih. Dan beliau juga merupakan figur sufi yang dikenal senantiasa menjaga dan
mawas diri terhadap perbuatan dosa. beliau juga sering kali mengintropeksi diri
menurut amal yang dilakukannya.
Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat
di tempuh melalui ketaqwaan kepada Allah. Hamka mengutip kata-kata dari
Al-Muhasibi” Barang siapa yang telah bersih hatinya karena
senantiasa muroqobah dan ikhlas, maka akan berhiaslah lahirnya dengan mujahadah
(perjuangan) dan mengikuti contoh yang ditinggalkan Rasulallah Saw”
b.
Pandangan
Al-Muhasibi tentang ma’rifat
Al–Muhasibi juga berbicara tentang
Ma’rifat. Menurutnya, Ma’rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang
mendasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah. Untuk mencapai Ma’rifat, diperlukakan
tahapan-tahapan yaitu yang pertama, taat. Awal
dari kecintaan kepada Allah adalah taat. Yang kedua, Khauf (rasa takut)
dan Raja’ (pengharapan). Menurutnya Khauf dan Raja’ menempati posisi yang
penting dalam perjalanan seseorang dalam membersihkan jiwa.[8]
3.
Al-Qusyairi
Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim
bin Hawazim, lahir tahun 376 H di Istiwa, kawasan Nishafur, salah satu pusat
ilmu pengetahuan pada masanya. Beliau meninggal
pada tahun 465 H. Beliau sangat mengecam keras para sufi pada masanya karena kegemaran mereka
menggunakan pakaian orang-orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat
yang sama bertentangan dengan pakayan mereka. Dia menekankan bahwa kesehatan
batin, dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah, lebih penting
ketimbang pakaian lahiriah. Menurut Al-Qusyairi, upaya pengembalian arah
tasawuf harus dengan cara merujuknya pada doktrin ahlussunnah.
Al-Qusyairi mencoba mengadakan
pembaharuan terhadap tasawuf. Ia mengemukakan konsep-konsep mengkompromikan
antara syariat dengan hakikat, antara yang dzahir dengan
yang bathin dengan senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Assunnah.[9]
4.
Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali.
Beliau dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah. Al-Ghazali
lahir pada tahun 450 H/ 1057 M di kampung Ghazlah sebuah kota di Khurasan,
Iran. Beliau meninggal di kota kelahirannya pada tanggal 19 Desember tahun 505 H/ 1111 M. Di masa hidupnya, bertepatan
dengan masa pemerintahan Perdana Menteri Nizamul Muluk dari Kerajaan Bani
Saljuk. Dan Al-Ghazali mendapat
gelar “ hujjah al-islam”.
Al-Ghazali dikenal sebagai Fuqoha,
Mutakallim, Filosof, Sufi, dan Ahli Didik yang dikagumi oleh Ulama-ulama besar,
karena sangat dalam dan luas ilmunya. Al-Ghazali
mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian beliau
melanjutkan ke Nizhamiyah di Naisabur, dan disinilah beliau berguru kepada Imam
Haramain (Al-Juwaini, wafat 478 H/ 1086 M). Selama di Naisabur, beliau juga
belajar teori-teori Tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj.
Al-Ghazali
sering berpendapat bahwa Mutakallimin sering melakukan kekeliruan, karena
menjadikan Filsafat sebagai dasar berpikir dalam menguraikan Ilmu Kalam. Oleh
karena itu, kebenaran ilmunya hanya sampai ke penghujung Filsafat, tidak bisa
menggali sampai ke akar-akarnya. Maka hasilnya, ilmu tersebut tidak akan dapat
memperkuat pendirian ketuhanan bahkan hanya menggoyahkan saja.
Al-Ghazali seperti halnya
Al-Qusyairi yang mencoba mengembalikan tasawuf dibawah bimbingan dan petunjuk
Al-Qur’an dan Sunnah. Al-Ghazali berpendapat bahwa sebelum mempelajari dan
mengamalkan tasawuf orang harus menperdalam ilmu tentang syariat dan aqidah
terlebih dahulu dan menjalankannya secara tekun dan sempurna. Menurut
Al-Ghazali bahwa ma’rifah dan mahabbah adalah setinggi-tingginya tingkat yang
dicapai seorang sufi dan pengetahuan yang diperoleh dengan akal.
Keberhasilan Al-Ghazali
mengkompromikan syariat dan hakikat, dikatakan bukan tidak memiliki kelemahan.
Penempatan syariat dibawah tarekat dan hakikat telah menimbulkan suatu efek
dimana para sufi selalu merasa superior, merasa menjadi golongan khawarij yang
memiliki kelebihan atau keunggulan dari manusia biasa.
Terlepas dari
kekurangan–kekurangannya, Al-Ghazali adalah seorang sufi ulum yang telah
berhasil membangkitkan gairah keagamaan yang mulai redup pada waktu itu dan
mengembalikan penghayatan agama atau ajaran tasawuf kepada bingkai ajaran
Al-Qur’an dan As-Sunnah[10].
BAB III
PENUTUP
- KESIMPULAN
Tasawuf akhlaki
bermakna membersihkan tingkah laku dari sifat-sifat yang buruk atau yang di
sebut degan sifat tercela . Tasawuf akhlaki ini bisa di pandang sebagai tatanan
dasar untuk menjaga akhlak manusia, atau dalam bahasa sosialnya moralitas
masyarakat.oleh karna itu, tasawuf akhlaki merupakan ilmu yang sangat
membutuhkan praktek untuk menguasainya. Tidak hanya mengetahuinya saja, tetapi harus di amalkan dalam kehidupan
sehari-hari, baik itu melalui
perkataan,perbuatan ,tingkah laku yang baik terhadap sesama manusia, tidak
harus memandang yang lebih kecil atau yang lebih tua. Demikian juga, akhlak tasawuf akhlaki adalah ajaran yang
membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada
pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku secara ketat, guna
mencapai kebahagiaan yang optimal.
Dalam rangka pendidikan
mental-spiritual, metode yang ditempuh para sufi adalah menanamkan rasa benci
kepada kehidupan duniawi. Ini berarti melpaskan kesenangan duniawi untuk
mencari Tuhan. Esensi cinta kepada Tuhan adalah melawan hawa nafsu. Bagi kaum
sufi,keunggulan seseorang bukanlah diukur dari tumpukan harta yang dimiliki,
bukan pula dilihat dari pangkat yang di jabatnya dan bukan pula dari otoritas
yang dimilikinya. Nilai seseorang tidak dilihat dari bentuk tubuh yang
dimilikinya, tetapi terletak pada akhlak pribadinya yang diterapkannya.
- SARAN
Kami menyadari makalah ini jauh dari
kata sempurna maka dari itu saran dan kritik kami harapkan dari segenap pembaca
dan pendengar agar kami bisa menyempunakannya lagi di hari-hari mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
abdul
mustaqim, akhlak tasawuf, (yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007)
Abu
Al-Wafa’ Al-Ghanimi At-Taftazani, Sufi dari zaman-zaman, (bandung:
Pustaka, 1985)
Asmaran
As., pengantrar studi tasawuf,( jakarta: Raja Grafindo Perasada, 1996)
Harun
Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam islam, (jakarta:Bulan Bintang
1992)
Labib
Mz dan Farid Abdullah, kisah kehidupan para sufi terkemuka (surabaya:
Bintang Usaha Jaya, 1998),
M.
Sholihin, tasawuf tematik, (bandung: Pustaka Setia, 2003)
M.
Amin Syukur dan Masyharuddin, intelektual tasawuf, (yokyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002)
Rosihon
Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010),
Samsul
Munir Amin, ilmu tasawuf, (jakarta: AMZAH, 2012)
[1] M. Amin Syukur dan Masyharuddin, intelektual tasawuf, (yokyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002) hal 45.
[2] Samsul Munir Amin, ilmu tasawuf, (jakarta: AMZAH, 2012) Hal 211
[3] Asmaran As., pengantrar studi tasawuf,( jakarta: Raja Grafindo
Perasada, 1996) hal 66
[4] M. Sholihin, tasawuf tematik,
(bandung: Pustaka Setia, 2003), hal 18
[5] abdul mustaqim, akhlak tasawuf, (yogyakarta: Kreasi Wacana,
2007) hal ;95
[7] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam islam,
(jakarta:Bulan Bintang 1992), hlm.67.
[8] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010),
hlm.235.
[9] Labib Mz dan Farid Abdullah, kisah kehidupan para sufi terkemuka
(surabaya: Bintang Usaha Jaya, 1998),hlm. 149.
[10] Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi At-Taftazani, Sufi dari zaman-zaman,
(bandung: Pustaka, 1985), hlm. 141.