Karya Tulis Lepas : Bahagia dengan Konsep Para Sufi

Bahagia dengan Konsep Para Sufi

       Kebahagiaan pada jaman Rasulullah SAW, tidaklah sesulit kebahagiaan pada jaman sekarang. Jika para sahabat dan para sufi bahagia cukup dengan dekat pada Allah dan Rasul-Nya, mengapa kebahagiaan jaman sekarang menuntut lebih dari kedua hal itu? Memang, tidak semua orang pada jaman sekarang menuntut lebih untuk takaran bahagianya. Akan tetapi, setidaknya cukup banyak orang yang mengesampingkan Allah dan Rasul-Nya untuk memenuhi kebahagiaan di dunia yang fana ini. Tidak kah mereka tahu? Jika nanti pada akhirnya mereka akan kembali pada Sang Khaliq? Jika mereka mengetahuinya, lalu mengapa mereka enggan peduli akan bahagia di akhirat? Nafsu akan duniawi semakin menjadi-jadi. Mereka abaikan peringatan-peringatan akan kehidupan yang kekal setelah dunia yang fana ini. Masih kurang jelas kah semua yang tergambar pada jaman sekarang? Tidak kah kejadian-kejadian menyimpang pada jaman sekarang adalah sebagian kecil dari tanda-tanda akhir jaman?
       Bahagia ala sufi itu tidak mahal. Tidak perlu kita korbankan harta benda kita, apabila dirasa itu sangat sulit. Cukup dengan kita mendekatkan diri kepada Allah, menjauhi larangan, dan menaati segala perintahnya. Cukup dengan mencari ridha Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bersyukurlah dengan apa yang dimiliki sekarang, jangan selalu menakar lebih apa itu bahagia. Para sahabat dan sufi terdahulu sampai mengorbankan harta bendanya di jalan Allah. Jika kita tidak mampu, tidak dapat meniru sifat sufi yang seperti itu, cukuplah dekatkan diri pada-Nya, berdzikir pada-Nya. Niscaya akan didapatkan bahagia yang sangat sangat melegakan. Tidak perlu lah bahagia menggunakan cara yang mainstream.
       Orang-orang pada jaman ini, semakin lama, semakin hari, semakin banyak keluhannya. Semakin sering uring-uringannya. Ketika ditanya mengapa dia seperti itu, jawabnya karena dia sedih, karena dia tidak merasa bahagia, tidak puas dengan apa yang terjadi. Lalu dia akan mencari dan terus mencari sesuatu yang nantinya bisa dia sebut ‘bahagia’. Entah cara mendapatkannya dengan cara yang benar, atau yang salah. Entah bahgianya merupakan bahagia yang diridhai Allah, atau tidak diridhai Allah. Kebahagiaan itu, tidak perlu dicari. Allah sudah memberikan kebahagiaan yang sangat tidak ternilai harganya. Jika kita menelaah lebih dalam, dengan kita berpegang teguh pada agama Allah, itu sudah merupakan definisi bahagia. Jika kita dapat menjalankan apa yang Allah perintahkan, lalu kita bisa istiqamah, itu juga sudah merupakan definisi bahagia. Mengapa? Mengapa masih mencari yang mahal, jika yang murah saja bisa didapatkan? Sahabat Rasul, sufi-sufi terdahulu, rela mengorbankan semuanya atas nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasulnya, Muhammad SAW. Mereka tidak mengharapkan apapun kecuali ridha Allah. Mereka tidak mengharapkan apapun, tidak pula mereka berlomba-lomba untuk dunia. Karena mereka menyadari dengan sepenuh hati, bahwa Tuhan mereka nyata, bahwa Allah benar-benar ada. Mereka yakin bahwa Nabi Muhammad adalah utusan-Nya dan agama yang dibawanya murni dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Lantas dari itu lah, mereka beriman kepada Allah. Membuang sikap-sikap duniawi demi menggapai ridha-Nya.
       Mereka meyakini bahwa, mereka diciptakan oleh Allah, dan akan kembali pula kepada Allah. Mereka ingin, bertemu dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala di akhirat nanti dengan wajah berseri. Maka di dunia, mereka gunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menggunakan beberapa pendekatan dan tingkatan-tingkatan. Setidaknya, dapat lah kita meneladani sikap para sahabat dan sufi-sufi tersebut. Hiasi diri dengan akhlaq yang mahmudah. Kenali Allah, agama-Nya, Rasul-Nya. Insyaallah, kita semua tidak akan uring-uringan mencari-cari kebahagiaan semu.

Nama : Syahdila Elsa Nursyafitri
NIM : 20170703022210
Prodi : Perbankan Syariah

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH : Tasawuf Falsafi (Revisi)

REVISI MAKALAH : Tasawuf Irfani (Konsep dan Tokohnya)

REVISI MAKALAH : Tasawuf di Indonesia dan Tokohnya