REVISI MAKALAH : Tasawuf di Indonesia dan Tokohnya



DI BALIK TIRAI TASAWUF INDONESIA


MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Akhlak Tasawuf
Yang diampu oleh Bapak MOCH. CHOLID WARDI, M. H. I.


Oleh :
Kelompok VIII
AMINATUZ ZAHROH                           NIM. 20170703022027
ALVENIA SHINTIA PUTRI                   NIM. 20170703022026
DIANSARI CHORIATUL JANNAH      NIM. 20170703022039
LAILATUS SYARIFAH                          NIM. 20170703022110
ROMSIATUL IZZAH                              NIM. 20170703022183
SITI AZIZAH                                           NIM. 20170703022198

  
 


PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017


KATA PENGANTAR 

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
            Dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penyusunan makalah Pendidikan Akhlak Tasawuf ini dapat berjalan dengan baik dan lancar.
            Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada baginda Rasul Muhammad SAW yang telah menuntun kita dari alam jahiliyah menuju alam yang terang-benderang dengan adanya agama Islam.
            Kami mengucapkan terima kasih yang tiada batas kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyukseskan makalah ini. Semoga dapat memberikan manfaat, baik bagi kami maupun para pembaca.
            Akhirnya, kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini tidak luput dari berbagai kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat diperlukan dalam pembuatan makalah yang lebih baik lagi di masa mendatang.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.



Pamekasan, 5 Desember 2017


                                                                                                                                                   Penyusun



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………..…………………...........................................................    ii
DAFTAR ISI……………………………….……….................................................................    iii
BAB I             PENDAHULUAN...………...............................................................................    1
A.    Latar Belakang…………….........................................................................    1
B.     Rumusan Masalah………...........................................................................    1
C.     Tujuan………………...……..................….................................................    1
BAB II            PEMBAHASAN……………............................................................................    2
A.    Sejarah Perkembangan Tasawuf di Indonesia.............................................    2
B.     Tokoh-tokoh Tasawuf di Indonesia............................................................     3         
C.     Pengaruh dan Pengamalan Tasawuf di Indonesia.......................................    7
BAB III          PENUTUP………………………………….....................................................    12
A.    Kesimpulan…………………….…..................…......................................    12
B.     Saran……………...…………................................................................…    12
DAFTAR PUSTAKA…….………………………...............................................................…    13


BAB I
PENDAHULUAN

           A.    Latar Belakang

Tasawuf merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kajian Islam di Indonesia. Sejak masuknya Islam ke Indonesia, unsur tasawuf telah mewarnai kehidupan keagamaan di masyarakat, bahkan hingga saat ini pun nuansa tasawuf masih terlihat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pengamalan keagamaan dari sebagian kaum muslim di Indonesia. Hal ini terbukti dengan semakin maraknya kajian Islam di bidang ini dan juga melalui gerakan di bidang tarekat.
Oleh sebab itu, kami menyusun makalah ini agar teman-teman bisa mengetahui bagaimana sejarah adanya tasawuf di Indonesia dan siapa saja yang berperan penting dalam penyebarannya.

           B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah perkembangan tasawuf di Indonesia?
2.      Siapa sajakah tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia?
3.      Apa pengaruh dan pengamalan tasawuf di Indonesia?
           C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui sejarah perkembangan tasawuf di Indonesia.
2.      Untuk mengetahui tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia.
3.      Untuk mengetahui pengaruh dan pengamalan tasawuf di Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN

  A.    Sejarah Perkembangan Tasawuf di Indonesia

Membahas perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses Islamisasi di kawasan ini. Sebab, penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para sufi.
Dari sekian banyak naskah lama yang berasal dari Sumatera, baik yang ditulis dari bahasa Arab dan bahasa Melayu, berorientasi sufisme. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf merupakan unsur yang sangat dominan dalam masyarakat pada masa itu.
Sejak berdirinya kerajaan Islam Pasai, kawasan Pasai menjadi titik sentral penyebaran agama Islam ke berbagai daerah di Sumatera dan pesisir utara Pulau Jawa. Islam tersebar di ranah Minangkabau atas upaya Syaikh Burhanuddin Ulakan (w. 1693 M), murid Abdur Rauf Singkel, yang terkenal dengan Syaikh Tarekat Syattariyyah.
Ulama’-ulama’ besar yang muncul kemudian di daerah ini, pada umumnya berasal dari didikan Syaikh Ulakan, seperti Tuanku Nan Ranceh, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Pasaman, Tuanku Lintau dan lain-lain.
Penyebaran Islam ke Pulau Jawa,  juga berasal dari kerajaan Pasai, terutama atas jasa Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoro yang ketiganya adalah abituren Pasai. Melalui keuletan itulah berdiri kerajaan Islam Demak yang kemudian menguasai Banten dan Batavia melalui Syarif Hidayatullah.
Perkembangan Islam selanjutnya digerakkan oleh Wali Sanga atau Wali Sembilan. Sebutan itu sudah cukup menunjukkan bahwa mereka adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai pada derajat “Wali”. Para wali bukan saja berperan sebagai penyiar Islam, melainkan mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan. Karena posisi itulah mereka mendapat gelar Susuhunan yang biasa disebut Sunan.[1]

  B.     Tokoh-tokoh Tasawuf di Indonesia

1. Hamzah Fansuri (w. 1016 H/1607 M)
Nama Hamzah Fansuri di Nusantara bagi kalangan ulama’ dan sarjana penyelidik keislaman tak asing lagi. Hampir semua penulis sejarah Islam mencatat bahwa Syaikh Hamzah Fansuri dan muridnya Syaikh Syamsuddin Sumatrani  termasuk tokoh sufi yang sepaham dengan Hallaj.  Paham hulul, ittihad, mahabbah dan lain-lain adalah seirama. Syaikh Hamzah Fansuri diakui sebagai salah seorang pujangga Islam yang sangat populer pada zamannya, hingga kini namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesusastraan Melayu dan Indonesia.
Pemikiran Al-Fansuri tentang tasawuf banyak dipengaruhi Ibn Arabi dalam paham wahdah wujudnya. Diantara ajaran Al-Fansuri yang lain berkaitan dengan hakikat wujud dan penciptaan. Menurutnya wujud itu adalah satu walaupun kelihatan banyak. Dari wujud yang satu ini ada yang berupa kulit (kenyataan lahir) dan ada yang berupa isi (kenyataan batin).[2]
Selain hakikat wujud dan penciptaan, Al-Fansuri berpendapat bahwa Allah adalah Dzat yang Qadim, sebab Allah adalah yang Pertama dan Pencipta alam semesta. Allah lebih dekat daripada leher manusia sendiri dan Allah tidak bertempat sekalipun sering dikatakan bahwa Allah ada dimana-mana.[3]

2. Nuruddin Ar-Raniri (w. 1068/1658 M)
Ar-Raniri dilahirkan di Ranir, sebuah kota pelabuhan tua di kota Gujarat, India. Nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad bin Hasanjin Al-Hamid As-Syafi’i Ar-Raniri. Menurut catatan Azyumardi Azra, Ar-Raniri merupakan tokoh pembaharuan di Aceh. Ia mulai melancarkan pembaharuan Islamnya setelah mendapat pijakan yang kuat di istana Aceh. Pembaharuan utamanya adalah pemberantas aliran Wujudiyah yang dianggap sebagai aliran sesat. [4]
Menurut Ar-Raniri ajaran Wujudiyah yang bepusat pada Wahdah Al-Wujud, yang disalah artikan kaum Wujudiyah dengan arti kemanunggalan Allah SWT dengan alam. Menurutnya, pendapat Al-Fansuri tentang Wahdah Al-Wujud dapat membawa pada kekafiran. Ia berpandangan bahwa jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan begitupun sebaliknya, dan jadilah seluruh makhluk itu adalah Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, keburukan maupun kebaikan, Allah SWT turut ikut serta melakukannya. Jika demikian, manusia mempunyai sifat-sifat Tuhan.[5]

3. Syaikh Abdur Rauf As-Sinkili (1024-1105 H)
Abdur Rauf As-Sinkili adalah seorang ulama’ dan mufti besar kerajaan Aceh pada abad ke-17 (1606-1637 M). Nama lengkapnya adalah Syaikh Abdur Rauf bin ‘Ali Al-Fansuri. Sejarah mencatat bahwa beliau adalah murid dari dua ulama’ sufi yang menetap di Mekah dan Madinah. Ia sempat menerima bai’at Tarekat Syattariyah, disamping ilmu-ilmu sufi yang lain termasuk sekte dan bidang ruang lingkup ilmu pengetahuan yang ada hubungannya dengannya.[6]
Syaikh Abdur Rauf juga menolak paham Wujudiyah yang menganggap adanya penyatuan antara Tuhan dan hamba. Pemahaman Abdur Rauf terhadap konsep martabat tujuh terletak pada posisi Tuhan terhadap ciptaan-Nya. Ia lebih menekankan aspek transendensi Tuhan terhadap ciptaan-Nya daripada aspek imanensi sebagai paham kaum Wujudiyah. [7]

4. Syaikh Yusuf Al-Makasari (1037-1111 H/1627-1699 M)
Syaikh Yusuf Al-Makasari adalah seorang sufi agung yang berasal dari Sulawesi dan dilahirkan pada tanggal 18 Syawal 1036 H atau bersamaan dengan 3 Juli 1629 M. Dalam salah satu karangannya, ia menulis ujung namanya dengan bahasa Arab “Al-Makasari”, yaitu nama kota di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang). Dalam tempo relatif singkat, ia tamat mempelajari Al-Qur’an 30 Juz. Setelah benar-benar lancar tentang Al-Qur’an dan mungkin termasuk seorang penghafal, ia melanjutkan untuk mempelajari pengetahuan-pengetahuan lain, seperti ilmu nahwu, ilmu bayan, ilmu sharraf, ilmu mantiq, ilmu badi’, ilmu balaghah dan ilmu tasawuf.[8]
Salah satu ajaran Yusuf Al-Makasari dalam tasawuf yakni pendapatnya mengenai insan kamil dan proses penyucian jiwa. Ia mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba walaupun telah naik derajatnya, dan Tuhan akan tetap Tuhan walaupun turun pada diri hamba-Nya. Menurutnya, kehidupan dunia bukanlah untuk ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan. Sebaliknya, hidup diarahkan untuk menuju Tuhan dan gejolak hawa nafsu harus dikendalikan melalui tertib hidup dan disiplin diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melindungi manusia. Berkenaan dengan cara-cara menuju Tuhan, ia membaginya dalam tiga tingkatan, yaitu:[9]
a.       Akhyar (orang-orang terbaik)
Yakni dengan memperbanyak shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, menunaikan ibadah haji dan berijtihad dijalan Allah.
b.      Mujahad Asy-Syaqa’ (orang-orang yang berjuang melawan kesulitan)
Yakni latihan batin yang keras untuk melepaskan perilaku buruk, menyucikan pikiran dan batin dengan memperbanyak amalan batin dan melipatgandakan amalan-amalan lahir.
c.       Ahl Ad-Dzikr
Yakni jalan bagi orang yang telah kasyaf untuk berhubungan dengan Tuhan.

5.  Nawawi Al-Bantani (1813-1879 M)
Abu ‘Abd Al-Mu’thi Muhammad bin ‘Umar bin An-Nawawi Al-Jawi’ dilahirkan pada tahun 1230 H/1813 M di desa Tanara (sekarang masuk wilayah kecamatan Tirtayasa), kabupaten Serang, Jawa Barat, Indonesia. Sebelum melakukan perjalanan ke Mekah, ia sempat berguru kepada ayahnya sendiri, Kyai H. Umar, seorang penghulu dari Tanara, ia pun sempat belajar kepada Kyai H. Sahal, seorang ulama’ terkenal di Banten saat itu.
Pendidikannya kemudian diteruskan ke Mekah, selama tiga tahun. Ia bermukim di sana dan pulang ke tanah air dengan khazanah keilmuan agama yang relatif cukup lengkap untuk menjadi seorang Kyai di kampungnya. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Snouck, ia merasa belum memenuhi cita-cita dan harapan masyarakat Banten secara penuh dan lengkap sehingga ia kembali ke Mekah dan bermukim disana sampai akhir hayatnya, tahun 1314 H/1897 M. Disana, ia terlibat dalam proses belajar dan mengajar serta menjadi pengarang dan mencapai kemasyhurannya di dunia Islam, khususnya di Indonesia.  
Pemikirannya dalam tasawuf, salah satunya tentang tarekat. Ungkapan An-Nawawi yakni: orang-orang yang mengambil tarekat, jika perkataan dan perbuatannya sesuai dengan syari’at Nabi Muhamad SAW, maka tarekatnya maqbul. Jika tidak demikian, mereka akan mencela dzikir Allah seperti pengikut Syaikh Ismail Minangkabau, mencela orang yang tidak masuk dalam tarekat.[10]

6. Abd Shamad Al-Palimbani
Abd Shamad Al-Palimbani adalah seorang ulama’ sufi kelahiran Palembang pada permulaan abad ke-18, kira-kira tiga atau empat tahun sebelum 1700 M dan meninggal kira-kira tidak lama setelah tahun 1203 H/1788 M. Ia adalah putra Abdul Jalil bin Syaikh Abdul Wahhab bin Syaikh Ahmad Al-Mahdani dari Yaman, seorang ulama’ sufi di sana, dan juga pernah diangkat menjadi mufti besar di Kedah. Ketika berada di Palembang, Abd Jalil menikah dengan seorang wanita negeri ini, Radin Ranti. Dari pernikahan ini, lahirlah Abd Shamad Al-Palimbani.[11]
Corak tasawuf Al-Palimbani adalah menggabungkan unsur-unsur ajaran Al-Ghazali dan Ibn Arabi, yang diolah dan disajikan dalam satu sistem ajaran tasawuf tersendiri. Ia menganut paham Ibn Arabi yang memandang manusia secara potensial sebagai manifestasi Allah yang paling sempurna. Meskipun ditafsirkan sedemikian rupa agar tidak menimbulkan pengertian phantheistik, yang menganggap bahwa Allah itu adalah alam semesta secara keseluruhan, dan alam semesta secara keseluruhan adalah Allah.[12]

7. HAMKA (1908-1981 M)
HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dilahirkan di Tanah Sirah, Sungai Batang di tepi Sungai Maninjau, tepatnya pada tanggal 13 Muharram 1362 H, bertepatan dengan 16 Februari 1908 M. Ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah yang termasuk keturunan Abdul Arief, gelar Tuanku Pariman atau Tuanku Nan Tuo, salah satu pahlawan Paderi.
Pemikiran tasawuf menurut HAMKA, salah satunya tentang pengertiannya. Tasawuf pada hakikatnya adalah usaha yang bertujuan untuk memperbaiki budi dan membersihkan batin. Artinya, tasawuf adalah alat untuk membentengi dari kemungkinan-kemungkinan seseorang terpeleset ke dalam  lumpur keburukan budi dan kekotoran batin yang intinya antara lain dengan berzuhud seperti teladan hidup yang dicontohkan Rasulullah lewat As-Sunnah yang Shahih.[13]

  C.    Pengaruh dan Pengamalan Tasawuf di Indonesia

Mengenai beberapa tokoh di Indonesia, uraian ringkas itu telah menggambarkan paham dan usaha-usaha mereka di masa lalu dalam berbagai lapangan dan keahlian masing-masing, dan semuanya ini tentu akan meninggalkan kesan dan pengaruh baik secara lansung maupun tidak langsung atau bersifat sementara dalam waktu yang relatif singkat.
Jauh sebelum ajaran Islam menyentuh bumi Indonesia, dikalangan masyarakat sebenarnya telah tumbuh dan berkembang sikap kerohanian tertentu, baik yang berupa kepercayaan primitif yang bersifat lokal atau bercorak Hindu Buddhisme yang datang kemudian. 
Dalam keadaan dan kondisi sikap mental yang seperti ini, ajaran Islam pun datang bersama dengan ajaran tasawufnya yang kemudian berkembang menjadi ajaran tarekat.[14] 
Perkembangan tarekat yang pesat membawa dampak positif bagi perkembangan dakwah, karena perkembangan tarekat juga merupakan perkembangan dakwah Islam. Di antara aliran-aliran tersebut adalah:
 
1.      Tarekat Qadiriyyah
Tarekat Qadiriyyah adalah tarekat yang didirikan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani (470-561 H/1077-1166 M) yang terkenal dengan sebutan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Al-Ghauws “Quthb Al-Auliya’” atau “Sulthan Al-Auliya’”. Ia sangat terkenal di kalangan masyarakat muslim. Manakib (biografi)-nya sering dibaca oleh para pengikutnya, karena ia dipercaya sebagai seorang wali yang memiliki derajat tinggi. Tarekat Qadiriyyah menempati posisi yang amat penting dalam sejarah spiritualitas di dunia Islam, karena tidak saja sebagai pelopor lahirnya organisasi tarekat, tetapi juga sebagai cikal bakal munculnya berbagai cabang tarekat di dunia Islam.
Tarekat Qadiriyyah berkembang dari pusat kelahirannya di Asia Tengah ke Baghdad, Irak, Turki, Arab Saudi sampai ke Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, India, dan Cina. Tarekat Qadiriyyah berpengaruh di Afrika Utara, Asia Kecil, dan Pakistan. Di Indonesia, tarekat Qadiriyyah masuk pada masa Syaikh Hamzah Fansuri di abad XVI-XVII Masehi dan banyak memperoleh pengikut di kalangan masyarakat luas sampai sekarang.

2.      Tarekat Syadziliyyah
Tarekat Syadziliyyah adalah aliran tarekat yang dinisbahkan kepada pendirinya Abu Hasan Ali Asy-Syadzili (593-656 H). Ia adalah seorang sufi Sunni yang berasal dari Syadziliyyah, Tunisia. Nama lengkapnya adalah Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar Abu Hasan Asy-Syadzili. Pada umumnya, tarekat ini dipengaruhi oleh ajaran dan pemikiran Al-Ghazali. Tarekat ini mempunyai silsilah sampai kepada Hasan putra Ali bin Abi Thalib dari Nabi Muhammad SAW.
      Tarekat Syadziliyyah memulai keberadaannya di bawah salah satu Dinasti Al-Muwahidun di Hafsiyah, Tunisia. Tarekat ini berkembang pesat, antara lain di Tunisia, Mesir, Aljazair, Sudan, Syiria, Semenanjung Arab, dan Indonesia (khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur).
      Tarekat Syadziliyyah tidak meletakkan syarat-syarat yang berat kepada Syaikh, kecuali mereka harus:
a.       Meninggalkan semua perbuatan maksiat.
b.      Memelihara segala ibadah yang wajib.
c.       Melakukan ibadah sunnah seperlunya.
d.      Melakukan dzikir sebanyak mungkin.
e.       Membaca istighfar 100 kali.
f.       Membaca shalawat 100 kali.
Inti ajaran tarekat ini dikelompokkan ke dalam lima hal, yaitu:
a.       Bertaqwa kepada Allah.
b.      Konsisten mengikuti sunnah.
c.       Berbuat baik kepada makhluk.
d.      Ridha kepada Allah.
e.       Kembali kepada Allah pada waktu senang atau susah.

3.      Tarekat Syattariyyah
Tarekat Syattariyyah adalah tarekat yang didirikan oleh Syaikh Abdullah Syattar (w. 890 H/148 M) di India. Ia adalah seorang ulama yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan As-Suhrawardi, ulama sufi pendiri tarekat As-Suhrawardiyyah. Ia menetap di Mandu, sebuah desa di India bagian tengah, dan mendirikan khanaqah pertama bagi para penganut tarekatnya. Ia menulis kitab berjudul Latha’if Al-Gha’ibiyyah yang berisi tentang prinsip-prinsip dasar ajaran tarekat Syattariyyah dan disebut sebagai cara tercepat untuk mencapai tingkat ma’rifah.
      Tarekat Syattariyyah berpengaruh di India, Pakistan, dan Indonesia pada abad ke XVI dan XVII. Adapun di Indonesia, awal perkembangannya dipelopori oleh Syaikh Abdur Rauf As-Sinkili, seorang ulama sufi yang berpengaruh awal paruh abad XVII di Aceh. Di Aceh, ia segera menjadi pusat perhatian, baik dari kalangan masyarakat luas maupun di kalangan istana, karena kedalaman pengetahuannya. Di antara murid-muridnya yang paling terkemuka adalah Syaikh Burhanuddin Ulakan dari Pariaman, Sumatera Barat, yang sekaligus menjadi tokoh penyebar tarekat ini di sana. Kemudian Syaikh Abdul Muhyi dari Pamijahan, Jawa Barat, yang juga menjadi tokoh penyebar tarekat ini di sana. As-Sinkili juga mempunyai murid lain di wilayah Semenanjung Melayu, yaitu Abdul Malik bin Abdullah (1678-1736 M) yang lebih dikenal sebagai Tok Pulau Manis dari Trengganu.
Mursyid tarekat Syattariyyah di Cirebon, Kyai Muqoyim (Mbah Muqoyim), seorang penghulu keraton, mendirikan Pesantren Buntet sekitar tahun 1750 Masehi. Hingga saat ini, Pesantren Buntet menjadi salah satu pusat terpenting tarekat Syattariyyah di wilayah Jawa Barat.


4.      Tarekat Naqsyabandiyyah
Tarekat Naqsyabandiyyah adalah tarekat yang didirikan oleh Muhammad An-Naqsyabandi. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad Bahauddin Al-Uwaisi Al-Bukhari An-Naqsyabandi (717-791 H/1318-1389 M). Ia adalah seorang ulama sufi terkenal yang lahir di desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara.
Tarekat Naqsyabandiyyah merupakan sebuah tarekat yang mempunyai dampak dan pengaruh sangat besar kepada masyarakat muslim di berbagai wilayah. Tarekat ini pertama kali berdiri di Asia Tengah kemudian meluas ke Turki, Syiria, Afghanistan, dan India. Di Asia Tengah bukan hanya kota-kota penting, melainkan juga di kampung-kampung kecil terdapat zawiyah dan rumah peristirahatan Naqsyabandi sebagai tempat berlangsungnya aktivitas keagamaan yang semarak. Tarekat ini juga memiliki banyak pengikut di Indonesia.
Tarekat Naqsyabandiyyah memasuki wilayah India (kemudian berpengaruh ke wilayah Indonesia) sekitar abad XVI Masehi atau tepatnya tahun 1526. Perluasan dan aktivitas spiritual tarekat ini di India mendapat dukungan yang sangat kuat pada masa kepemimpinan Sirhindi (972-1033 H/1564-1624 M). Ia dikenal sebagai “Mujaddid Alfi Tsani” (pembaharu milenium kedua). Pada akhir abad XVIII, namanya hampir sinonim dengan tarekat Naqsyabandiyyah di seluruh Asia Selatan, wilayah kekuasaan Utsmaniyyah, dan sebagian besar Asia Tengah.
Adapun di Indonesia, tarekat ini antara lain dipelopori oleh Syaikh Yusuf Al-Makasari (1626-1699 M). Ia merupakan orang pertama yang memperkenalkan tarekat Naqsyabandiyyah di Nusantara. Tarekat ini berasal dari pusatnya, Mekah, yang dibawa oleh pelajar yang menimba ilmu di sana dan juga jamaah haji. Mereka kemudian menyebarkannya ke seluruh pelosok Nusantara.[15]


5.      Tarekat Khalwatiyyah
Tarekat ini didirikan oleh Syaikh Muhammad Al-Khalwati (w. 1397 M) dan berkembang di Mesir. Ia adalah seorang sufi yang sering melakukan khalwat atau bersemadi di tempat-tempat sepi.
Tarekat Khalwatiyyah merupakan cabang dari tarekat As-Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Syaikh Umar As-Suhrawardi (539-632 H). Tarekat Khalwatiyyah berkembang di berbagai negeri, seperti Mesir, Turki, Syiria, Hijaz, dan Yaman. Mengenai perkembangan di Mesir, ajaran tarekat ini dibawa oleh Musthafa Al-Bakri, seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria.[16]



BAB III
PENUTUP
  A.    Kesimpulan
Sejak berdirinya kerajaan Islam Pasai, kawasan Pasai menjadi titik sentral penyebaran agama Islam ke berbagai daerah di Sumatera dan pesisir utara Pulau Jawa. Islam tersebar di ranah Minangkabau atas upaya Syaikh Burhanuddin Ulakan (w. 1693 M), murid Abd Rauf Singkel, yang terkenal dengan Syaikh Tarekat Syattariyah.
Berikut ini adalah tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia: 
1.      Hamzah Fansuri 
2.      Nuruddin Ar-Raniri 
3.      Syaikh Abdur Rauf As-Sinkili
4.      Syaikh Yusuf Al-Makasari
5.      Nawawi Al-Bantani
6.      Abd Shamad Al-Palimbani
7.      Haji Abdul Malik Karim Amrullah
            Sedangkan aliran-aliran tarekat di Indonesia diantaranya yaitu:
1.      Tarekat Qadiriyyah
2.      Tarekat Syadziliyyah
3.      Tarekat Syattariyyah
4.      Tarekat Naqsyabandiyyah
5.      Tarekat Khalwatiyyah
  B.     Saran
Menyadari bahwa masih jauh dari kata sempurna, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya karena sebagai manusia kami adalah tempat salah dan dosa. Oleh karena itu, kami membutuhkan masukan baik berupa kritik dan saran untuk memperbaiki kekurangan dari makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir. 2015. Ilmu Tasawuf. Edisi ketiga. Jakarta: Amzah.
Anwar, Rosihon. 2010. Ilmu Tasawuf. Edisi revisi. Bandung: Pustaka Setia.
Nasution, Ahmad Bangun dan Rayani Hanum Siregar. 2015. Akhlak Tasawuf (Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya Disertai Biografi dan Tokoh-tokoh Sufi). Edisi kedua. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Solihin, M. dan Rosihon Anwar. 2008. Ilmu Tasawuf. Edisi pertama. Bandung: Pustaka Setia.


[1] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Edisi revisi, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 338
[2] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf (Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya Disertai Biografi dan Tokoh-tokoh Sufi), Edisi kedua, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2015), hlm. 65
[3] M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Edisi pertama, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 247
[4] M. Solihin dan Rosihon Anwar, op.cit., hlm. 251
[5] Rosihon Anwar, op.cit., hlm. 344
[6] M. Solihin dan Rosihon Anwar, op.cit., hlm. 252
[7] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, op.cit., hlm. 67
[8] Rosihon Anwar, op.cit., hlm. 349
[9] M. Solihin dan Rosihon Anwar, op.cit., hlm. 265
[10] Ibid., hlm. 266-268
[11] Ibid., hlm. 255
[12] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, op.cit., hlm. 68
[13] M. Solihin dan Rosihon Anwar, op.cit., hlm. 269-274
[14] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, op.cit., hlm. 67
[15] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Edisi ketiga, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 308-313
[16] Samsul Munir Amin, op.cit., hlm. 317-318
 

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH : Tasawuf Falsafi (Revisi)

REVISI MAKALAH : Tasawuf Irfani (Konsep dan Tokohnya)